Pengelolaan Lingkungan oleh negara

Menyingkapi pola pengelolaan hutan dua dekade belangkangan ini adalah menyaksikan laju deforestasi yang bergerak dengan intens dan cepat. Dengan laju kerusakan 2,4 juta hektar pertahunnya, statement tersebut menjadi bukti yang tak terbantahkan. Ditambah blunder-blunder pemerintah dalam menetapkan kebijakan kehutanannya, lengkaplah pemahaman yang diberikan bahwa pengelolaan hutan dilakukan dengan serakah.

Selama ini negara menguasai hutan secara irrasional baik luas maupun peruntukannya. Kendati angka kerusakan cukup besar namun hal ini belum dapat merubah pola managemen maupun pada bidang pertanian juga berlaku hal serupa. penanggug jawab akan mengatur tali air akan dibuka, sebelah mana yang harus dibuka terlebih dahulu, kapan waktu penanaman, pengaturan kerja pada waktu panen, dsb. dasar berpikir bagi sebagian komunitas ini harus diakui memang masih berpijak pada mistis.

Namun kalau kita telah lebih lanjut dengan ilmu logika, kita akan menemukan relevansi dikeluarkan hukum dan peraturan adat itu dengan kenyataan apa yang akan terjadi seandainya hukum tersebut tidak diterapkan. Diambil contoh, dalam suatu komunitas ada sebuah peraturan yang mengatakan bahwa hasil hutan baik kayu atau non kayu haruslah ditinggal terlebih dahulu dipinggir hutan selama dua malam. Tujuannya agar roh-roh halus yang turut serta pada hasil hutan itu tadi tidak terbawa serta kepemukiman masyarakat. Secara logika apa yang diungkap diatas memiliki kebenaran. Bisa dipahami bahwa hutan memiliki beberapa jenis mahluk hidup yang akan berubah menjadi hama ketika didaerah pemukiman. Untuk itu maka tujuan sebenarnya dari diinapkannya terlebih dahulu hasil hutan itu tadi adalah untuk memberi kesempatan berbagai jenis mahkluk hidup itu tadi kembali keasalnya (hutan).
Dapat juga ditemukan adanya pelarangan untuk membawa hasil hutan melewati daerah persawahan. Tujuannya agar roh yang masih tersisa dan terbawa oleh hasil hutan itu tadi tidak memakan habis hasil-hasil pertanian nantinya. Secara logika ini mengajarkan kita bahwa ada kemungkinan masih adanya sejumlah binatang dalam hasil hutan yang bila terbawa melewati daerah pertanian akan berubah menjadi hama dan menghancurkan pertanian yang ada. Dari berbagai kearifan tersebut, timbul pemahan akan adanya sebuah pola pengelolaan yang selama ini berkembang dan mampu mengakomodir semua kebutuhan masyarakat, paling tidak yang ada dalam komunitas tersebut. peraturan yang berasal dan telah berkembang dari ketika komunitas ini terbentuk.
Yang kesemuanya telah habis terintrodusir oleh UU no.5 tahun 1979 yang menggeneralisir bentuk-bentuk pemerintahan dan piranti yang mengatur masyarakatnya menjadi sangat bias. Walaupun hal itu belum tentu cocok (pada kenyataannya ya) pada semua daerah. Berdasarkan dua pemahaman diatas, ada satu hal (dari berbagai hal) yang dapat diketengahkan sebagai inti permasalahan sekaligus dari mana seharusnya kita berangkat untuk menyelesaikan masalah tersebut. Berikut kita coba untuk memaparkan apa yang kita maksud tersebut beserta dasar-dasar pemikiran yang mengikutinya.

Post a Comment

0 Comments