NEGARA TANPA DASAR, MENGIRA RUMUSAN AZAS DAN TUJUAN NEGARA SUDAH BENAR

Pengarang : Benny E. Matindas

Begitu banyak negara, tak kecuali sejumlah negara yang kini terbilang paling maju, tak pernah lagi merasa perlu memikirkan dan apalagi meninjau kembali rumusan konsepsi-konsepsi dasar negaranya. Bahkan, setelah rumusan azas dan tujuan bernegara yang keliru atau tak memadai itu terbukti sering tak becus memedomani jalannya penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa dalam mencapai cita-cita manusia, orang masih tak pernah menginsafi untuk segera menuding rumusan dasar negaranya itu sebagai pangkal kegagalan.
Ada yang karena berpandangan bahwa rumusan dasar negara toh pasti sudah beres dengan sejumlah deskripsi bersifat sangat umum, sehingga sukar untuk salah dan disalahkan, dan serba indah sehingga pasti dihendaki oleh setiap manusia secara universal. Tetapi tentu saja bukan sifat umum itulah yang terutama diperlakukan sebagai jawaban yang
benar, melainkan soal ada atau tidaknya rumusan yang benar. Soal ketepatan dan maka ketegasan. Karena ketidaktetapan yang terjadi sedikit saja di tataran dasar pastilah terproyeksi sebagai penyerongan yang sangat jauh di tataran praktisi operasional.
Sejumlah bangsa lainnya berkeyakinan bahwa dengan atau tanpa rumusan dasar negara yang terdeskripsi secara benar dalam undang-undang dasar toh setiap undang-undang dan aturan yang lengkap, sempurna dan cukup rinci sehingga jalannya negara akan selamanya terpedomani dengan seksama. Logika demikian itu benar adanya. Tetapi yang jadi soal, adakah ideologi itu benar? Adakah segala jawaban benar yang dibutuhkan akan selalu terdapat dalam ideologi tersebut? Atau, adakah jaminan untuk selamanya benar tafsiran atas ideologi yang dilakukan oknum-oknum perumus undang-undang?

Sikap yang terbilang paling konyol daam hal tak mau meninjau kembali soal dasar negara, yakni mereka yang menganggap hal tersebut sudah beres sejak awal oleh para pendiri negara yang bijak bestari, atau menganggap itu sebagai wacana keramat dari orang suci pilihan illahi. Sikap yang sama kelirunya dengan mereka yang berada di kutub sebaliknya yang samasekali menolak mempercayai ideologi atau ajaran baku dari manapun, sebab menganggap ideologi hanya akan menjadi pembeku kesadaran dan pembelenggu kecerdasan manusia.

Yang lazim dijumpai di pelbagai negara, beberapa kondisi ideal yang dirumuskan sebagai tujuan negara dengan kata-kata indah, itu dipandang sudah cukup selebihnya tinggal nanti ditambahkan langsung oleh para negarawannya di setiap generasi yang tentu punya common sense memadai, untuk selanjutnya diaplikasi, diimplikasikan dan diimplementasikan ke dalam program-program operasional untuk diwujudnyatakan. Sikap dan laku yang belum benar berkenaan dengan dasar negara seperti itu tentu tak akan pernah diinsafi sebagai belum benar dan apalagi sebagai kesalahan, manakala mereka membandingkan dengan sikap tertutup dan fanatik dari masyarakat bangsa-bangsa lain yang memegang ideologi politiknya tanpa kritik kendati telah terbukti gagal ataupun berbahaya bagi kemanusaiaan.

Selamanya terbukti, belum beresya rumusan dasar negara telah membawa pelbagai masalah yang masing-masingnya berakibat sangat besar dan parah.
Konstitusi Jerman sejak lama sudah dikembangkan hingga terhitung salah satu undang-undang dasar yang paling maju (-Konstitusi Weimar misalnya pernah jadi teladan banyak negara sedunia), masyarakat Jerman pun terbilang masyarakat terdidik dan yang secara sadar sudah mengembangkan konsepsi waltanschauung-nya, tetapi kenyataannya ideologi Nationalsozialismus (Nazi) yang berkembang irasional dan fasik begitu gampang merusak dan selanjutnya membawa bencana kemanusiaan dunia. Pasti bukan karena kurangnya pendidikan politik serta sosialisasi konstitusi negara di kalangan masyarakat prancis, belanda, amerika dan seterusnya sehingga di dalam negara-negara barat yang memusuhi Blok Komunis dulu itu ternyata menjamur penganut Marxisme di setiap masa. Sementara di banyak negara lainnya, setiap generasinya selalu memunculkan kelompok politik yang mudah memperoleh dukungan masyarakat luas karena mengajukan alternatif ideologi negara berupa agama yang dianut penduduk atau sekelompok penduduk beragama lain menyatakan ingin berdiri sendiri dalam negara baru yang berdasarkan agmaa mereka.

Sejumlah upaya perjuangan mengganti ideologi negara telah mencapai keberhasilan di luar soal berhasilkah penerapan ideologi tersebut dalam mencapai tujuan-tujuan kemanusiaan warganya atau sebaliknya menjadi rezim horor bagi kebanyakan warganya-namun banyak pula perjuangan ideologi alternatif yang masih tetap berupa konflikberkepanjangan berdarah-darah. Tetapi sejauh itu, masalah belum beresnya rumusan dasar negara tak hanya berupa konflik antar ideologi politik, dengan atau tanpa diinsafi salah kaprah menganggap tak ada lagi masalah di tataran dasar negara tersebut sudah dan terus-menerushingga entah kapan menelan korban berupa tak memadai atau gagalnya hasil pembangunan. Pembangunan tak pernah secara konsisten diarahkan hanya bagi kebutuhan utama manusia. Pemborosan sumber daya bangsa; akselerasi penghancuran lingkungan hidup tanpa rehabilitasi yang sepadan; dedadensi moral dan lamban berkembangnya mentalitas sebagian besar warga; sedikit kemajuan dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok ekonomi yang harus dibayar mengerdilnya jiwa manusia serta kerapuhan jasmaninya; jalannya sejarah bersifat trial & error, dan setiap tahapannya meminta korban, baik yang langsung sebagai akibat gagalnya pembangunan maupun dampaknya di bidang politik yang memunculkan konflik dengan korban-korban lebih mengerikan lagi.

Setiap negara harus secara tegas merumuskan tujuan serta prinsip-prinsip dasarnya yang benar. Yaitu bahwasanya negara didirikan atas kesadaran dan kehendak warga untuk memperbesar daya demi makin optimal mencapai keamanan, kemakmuran/kesehatan, dan penyempurnaan jiwa yang setingginya. Negara yang didirikan atas kesadaran dan kehendak warga tak boleh lain harus diselenggarakan dengan azas-azas kedaulatan rakyat, persatuan dan keadilan. Inilah dasar negara yang sejati.
Ini jelas bukan soal memilih dari salahsatu alternatif ideologi negara yang dikenal gagah dan besar. Adanya fitrah dan kebutuhan hakiki manusia yang objektif tidak melayangkan sifat relatif pada aras yang semendasar rumusan dasar mengenai tujuan negara.

Berdasar azas persatuan demi pembesaran daya, azas kedaulatan rakyat dan azas keadilan, negara mengupayakan pemenuhan kebutuhan warga sebagai manusia menuju kebahagiaan sejati. Memenuhi kebutuhan manusia akan keamanan, kebebasan, serta rasa kepastian terjaminnya hak-hak sebagai manusia dan warga negara; kemakmuran, terjadinya hak-hak sebagai manusia dan warga negara; kemakmuran, dengan kondisi minimal terpenuhinya kebutuhan pokok, termasuk pemenuhan kesehatan dengan penyediaan sarana serta sosialisasi pengetahuan untuk bisa terus-menerus mengembangkan kebuagaran jasmani; serta kesempurnaan jiwa, tingginya kerohanian dan segenap daya mental, yang diwujudkan melalui pengembangan iman, kearifan, wawasan seluasnya, dan daya cerdas-kreatif.

Sangat banyak masalah dan akibat yang harus selalu timbul lantaran penyelenggaraan negara tidak berlangsung di atas pedoman azas dan tujuan yang benar. Satu-persatu dari apa yang sebenarnya harus menjadi azas dan tujuan negara itu tentu saja diketahui siapapun, namun tanpa sistematika yang benar maka siapapun tak akan pernah sungguh-sungguh menginternalisasinya (menjadikan sebagai bagian dalam kesadaran dan sistem nilai pribadi) sehingga tak akan bisa dihayati dan diamalkan secara konsisten. Karena tanpa sistematikanya yang benar, setiap unsur dalam rumusan tujuan dan azas bia memiliki makna yang tak koheren, bisa saling bertentangan. Keamanan yang harus berdikhotomi dengan kebebasa; menegakkan keamanan bisa berkonsekuensi pemberangusan atau hilangnya kebebasan, atau sebaliknya meluaskan kebebasan bisa berarti merenggut keamanan dan keselamatan warga. Pembangunan akan cenderung dititikberatkan hanya pada pengembangan sisi material yang bahkan mengorbankan nilai-nilai mulia imaterial yang padahal merupakan tujuan hakiki hidup manusia. Penghancuran lingkungan hidup dengan gampang dilakukan di dalam sistem pembangunan ekonomi, lataran kesehatan manusia hanya melulu dilihat sebagai hasil ikuttan dari pencapaian tertentu dalam pembangunan ekonomi itu. Keadilan sering dengan mudah dikorbankan demi prioritas pembangunan keamanan ataupun kemakmuran, bahkan dikorbankan dalam keputusan peradilan maupun pertanggungjawaban lembaga negara pada umumnya, karena konsep serta penghayatan keadilan tak pernah sungguh dibesarkan, Cuma dibiarkan sebagai ide yang abstrak, relatif tanpa parameter penilaian yang tegas, sehingga tak mengikat.

Azas kedaulatan rakyat dan keadilan bukan harus dimasukkan dalam rumusan dasar negara oleh karena kita memilih sistem demokrasi. Terbalik. Kita menetapkan kedaulatan rakyat dan keadilan sebagai azas penyelenggaraan negara karena itu benar sebagai kebutuhan objektif bagi pranata kebudayaan manusia yang kita sebut negara - dengan apapun istilah yang kemudian boleh digunakan, termasuk "demokrasi". Sebagimana halnya tetkala nilai-nilai azas tersebut dulu pertama kali datang dalam sistem kesadaran manusia - telah menginsafi betapa tak logis dan irasionalnya negara yang hanya dijadikan milik pribadi keluarga-keluarga tertentu, pla keinsafan tentang betapa mengerikannya bila sifat adil tidak secara konsisten mendasari semua sikap dan tindakan negara di antara warganya - dan kemudian dikembangkan menjadi sebuah tata bernegara yang disebut "demokratis". Nilai-nilai yang benar itu kini dirumuskan secara tegas sebagai azas negara.

Cerdas kreatif - yang padahal merupakan alat dan sekaligus tujuan pembahagiaan manusia - pun nyaris selamanya hanya dipandang sebagai karunia kahs yang hanya bisa dimiliki orang-orang istimewa. Tidak pernah diteliti melalui gerakan ilmiah besar-besaran agar bisa ditemukan cara-cara penumbuhkembangannya, karena tak pernah diperhatikansecara cukup memadai sebagai hal sangat penting bagi penghidupan manusia dan kemanusiaan. Karena tak pernah ditegaskan sebagai satu tujuan utama manusia yang harus diupayakannya termasuk melalui fungsi negara.

Daya cipta manusia sesungguhnya dapat secara pasti ditumbuhkembangkan melalui penyemaian rasa cinta sesamayang pada keperduliannya itu, yang tumbuh beriring dengan kebiasaan serta kenikmatan memberi atensi pada setiap sebanyaknya pengalaman dan pengetahuan. Ikhtiar memenuhi pelbagai kebutuhan di tengah kelangkaan, dalam rangka keperdulian itu, kemudian terlatih memanfaatkan memori pengalaman dan pengetahuannya sebagai bahan baku dalam proses kreatif konstruktif. Penumbuhkembangan daya cipta warga akan semakin terjamin tingkat keberhasilannya bila telah terlembaga sebagai gerakan kebudayaan masyarakat, yang dimotori oleh negara sebagai lembaga berdaya besar yang menetapkan pengembangan daya verdas kreatif warga sebagai salahsatu program inti. Salah kaprah dalam dunia pendidikan dan para ahli psikologi yang selama ini menganggap kreativitas sebagai sesuatu yang harus selamanya sangat langka, sesuatu yang tidak bisa secara pasti diproduk melalui sistem pendidikan dan budaya masyarakat, sesuatu yang hanya bisa diharap dari faktor anugerah alam yang tak pernah jelas datangnya.

Rumusan azas dan tujuan negara tak boleh lain harus berangkat dari upaya mencermati kebutuhan hakiki manusia. Bukan dengan memilih dan menyalin segala ideologi konvensional yang besar dan gagah. Upaya lanjutnya adalah mencapai sistematikanya yang benar. Hanya dengan sistema yang benarlah unsur-unsur di dalamnya akan bisa dilengkapi secara tepat dan masing-masingnya memperoleh makna yang setepatnya, dan hanya oleh semua ketepatan itulah suatu rumusan akan bisa melahirkan serta memedomani program-program konkrit yang layak dan sungguh menjawab kebutuhan.


Post a Comment

0 Comments