Potret Kawasan Konservasi Bengkulu


Ketika kita mendengar “kawasan konservasi alam”, atau “kawasan yang dilindungi”, apa sih yang terlintas di benak kita? Sebuah “bayangan” hutan dengan rimbun pepohonan. Gemericik air sungai yang mengalir jernih. Burung-burung berkicau, dan berlompatan dari satu ranting ke ranting yang lain. Bunga bermekaran, seresah dan tanah basah yang menyajikan simphoni wewangian alam semesta. Hewan yang tidak pernah dijumpai di rumah melintas, bercengkerama. 

Harimau melenggang, kijang berlari, kera bergelantungan. Pendeknya, yang terbayang adalah tempat yang sejuk, segar dan kita merasa nyaman di sana. Demikiankah kawasan konservasi itu? Bayangan kita itu boleh salah, boleh juga benar, setidaknya kawasan konservasi (dan lindung) itu diadakan untuk dilindungi dan melindungi.

Kawasan konservasi dan kawasan yang dilindungi itu merupakan salah satu cara yang ditempuh untuk melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dari kepunahan. Untuk mencapai maksud tersebut ditetapkan kawasan hutan yang dilindungi seluas 49 juta hektar (30% dari luas hutan Indonesia), terdiri dari 30 juta hektar hutan lindung dan 19 juta hektar hutan suaka alam. Manajemen hutan ini dilakukan dengan pendekatan yang cenderung menempatkan kawasan konservasi sebagai “barang antik”, yang terisolir dari dunia luar. Posisi ini menjadikan peran serta masyarakat atas kawasan konservasi menjadi lemah.

Pola pengelolaan kawasan konservasi yang kita lakukan memang sesuai dengan Strategi Konservasi Dunia, yaitu melakukan (1) perlindungan sistem penyangga kehidupan, serta (2) melakukan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Sayangnya, ada point yang cenderung “ditinggalkan”, yaitu (3) Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Pendekatan ini menjadikan kawasan konservasi itu menjadi “seolah” kurang bermanfaat secara lestari bagi kawasan di sekitarnya.

Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya sampai saat ini masih menjadi slogan atau jargon semata, tidak sedikit kawasan yang mestinya dilindungi berubah fungsinya menjadi lahan perkebunan baik yang berskala besar maupun perkebunan masyarakat. Pembangunan yang berkelanjutan diartikan sebagai pembangunan yang lamban, maka perluasan kawasan industri dan perluasan perkebunan berskala besar menjadi begitu lebih penting dengan alasan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang salah satunya bertujuan juga untuk meningkatkan tarap hidup masyarakat di dalam dan disekitar kawasan tersebut. Padahal, Pendapatan Asli Daerah dan meningkatkan tarap hidup masyarakat dengan mengkonversi hutan merupakan omong kosong belaka.

Kerusakan kawasan konservasi juga dilakukan oleh penebang-penebang liar (illegal logging). Di beberapa daerah di Bengkulu Illegal Logging menjadi issu utama yang mestinya harus diberantas. Selain merugikan kawasan dan lingkungan praktek illegal ini juga merugikan masyarakat yang bermukim disekitarnya yang memiliki hak akses dan kontrol terhadap pengelolaan sumberdaya hutan, komunitas yang menggunakan nilai-nilai kearifan tersebut pada dasarnya memiliki kearifan dan sistem tersendiri dalam pengelolaan kawasan hutan dan sumberdaya yang ada (non timber forest product).

Bagi masyarakat yang hidup di dalam dan sekitarnya kawasan konservasi merupakan suatu wilayah yang tidak dapat diganggu dan dirusak, selain dapat mempengaruhi iklim, pengrusakan kawasan ini juga mengakibatkan rusaknya sumber-sumber air bagi kehidupan mereka yang sebagian besar petani sawah. Di Lubuk Pinang kabupaten Mukomuko misalnya, pelestarian kawasan hutan di hulu sungai Manjuto merupakan kewajiban dimana kawasan ini merupakan salah satu sumber air bagi Irigasi Manjuto yang mengaliri + 1600 Ha sawah yang ada di tiga kecamatan di kabupaten Mukomuko yaitu kecamatan Lubuk Pinang Kec. Lubuk Sanai dan Kecamatan Mukomuko Utara.

Intinya upaya masyarakat dalam memerangi kerusakan hutan sudah lebih dari cukup, ini dibuktikan dengan beberapa upaya yang telah dilakukan diantaranya melakukan razia truck logging dan melakukan lobby-lobby kepada pihak yang terkait. Hearing yang dilakukan masyarakat ke Dinas Kehutanan dan Pertanian. Dan ini merupakan tindak lanjut dari upaya-upaya yang telah mereka lakukan sebelumnya.

Penolakan pembalakan haram di Kecamatan Lubuk Pinang yang dilakukan oleh organisasi masyarakat petani Forum Petani Pemakai Air (FP2A) bukan saja wujud kepedulian terhadap keselamatan hutan, namun lebih kepada upaya penyelamatan ratusan Ha sawah yang dialiri sungai manjuto dan hajad hidup ribuan manusia yang ada di Kec. Lubuk Pinang.

Seharusnyalah, upaya yang dilakukan oleh masyarakat ini didukung oleh pihak pemangku kebijakan di kabupaten Mukomuko. Kebijakan Pemerintah harus lebih agresif dalam mensikapi masalah kerusakan hutan, karena bukan saja akan merugikan masyarakat namun juga merugikan daerah kabupaten Mukomuko yang tergolong masih sangat muda. Untuk itu sangat diperlukan peran aktif semua stakeholder “pemerintah daerah, dinas terkait, masyarakat, pemerhati lingkungan” dalam menyelesaikan persoalan kerusakan hutan tersebut.(bun)


Post a Comment

0 Comments