“Apakah pentingnya memilih hutan sebagai konteks untuk membicarakan masalah hukum bagi sebuah negara seperti Indonesia? Tanpa bisa disangkal, hutan telah menyediakan sebuah arena yang menarik untuk mempelajari bagaimana hukum dan persoalan-persoalan sosial, politik, ekonomi dan lingkungan saling bertemali”.


Tidak banyak orang mengetahui bahwa sekitar 120 juta hektar tanah yang berarti sama dengan enam puluh persen dari wilayah negeri ini adalah area yang dikategorikan sebagai kawasan hutan. Artinya, wilayah yang ingin dipertahankan oleh pemerintah sebagai hutan. Ironisnya, di wilayah seluas itulah terdapat kemiskinan yang akut. Meski tidak ada data yang resmi dan pasti tentang kemiskinan di kawasan itu, sebagaimana absennya data tentang jumlah penduduk yang berdiam di dalam kawasan hutan, sebuah hasil penelitian termutakhir memprediksi bahwa sekitar sepuluh juta orang miskin diperkirakan hidup di dalam kawasan hutan di Indonesia.

Sementara itu, akibat ketidakadilan pembagian akses pada hasil hutan serta perampasan hak-hak masyarakat adat, maka konflik dan kekerasan tak kunjung usai, bahkan acap berujung pada pelanggaran hak asasi manusia di kawasan hutan. Yang lain, adalah kejahatan lingkungan serta korupsi sebagaimana sering ditampilkan melalui berbagai kasus-kasus pembalakan liar kelas kakap. Terakhir, kondisi ekologis hutan yang terus merangas dan perlahan tapi pasti akan membawa negeri ini pada krisis ekologi yang serius karena angka kerusakan hutan terus meningkat dan kawasan yang secara nyata tertutup oleh hutan terus merosot.

Fakta-fakta ini dengan jelas menunjukkan bahwa ada persoalan ketidakmumpunian pemerintah menjalankan peran sebagai pengelola hutan yang utama di negeri ini. Pada titik inilah maka masyarakat terutama mereka yang berdiam di lingkungan sekitar hutan adalah aktor pilihan lain. Tidak masalah apakah mereka masyarakat adat ataupun bukan. Mereka semestinya berperan sebagai pihak yang menikmati manfaat utama dari hutan sekaligus mengontrol dan melestarikannya. Tetapi, hal inipun juga belum berjalan maksimal. 

Persoalan tersebut muncul sebagai akibat dari ketiadaan atau paling tidak minimnya jaminan kepastian hukum bagi masyarakat sekitar hutan untuk menguasai dan memanfaatkan hutan. Dengan kata yang lain, kepastian tenurial bagi masyarakat di kawasan hutan sangatlah minim. Dalam kondisi seperti ini cukup beralasan muncul pertanyaan: apakah insentif yang diterima masyarakat untuk menjaga dan melestarikan hutan, jika mereka sendiripun tidak mengetahui sampai kapan mereka bisa hidup di kawasan hutan, siapa dan mekanisme hukum apa yang akan melindungi hak-hak mereka?

Hubungan antara kepastian tenurial dengan pelestarian lingkungan, penyelesaian konflik, dan perwujudan keadilan sosial adalah tesis yang sangat populer dalam berbagai diskursus akademik, pembangunan dan gerakan sosial. Kepastian tenurial atau tenure security menurut pandangan beberapa pihak adalah kunci untuk mendorong masyarakat melestarikan lingkungannya dan menciptakan keadilan dalam penguasaan tanah dan pengelolaan hutan. 

Tidak terhitung banyaknya upaya yang telah dilakukan untuk mendukung tesis ini. Menariknya, banyak dari upaya tersebut lebih menekankan pada penjelasan tentang fakta beragamnya model hak kepemilikan atau penguasaan masyarakat (hak tenurial) terhadap tanah dan sumber daya di kawasan hutan daripada penjelasan tentang elemen-elemen apa yang sebenarnya harus ada untuk memberikan kepastian tenurial kepada masyarakat di lingkungan hutan. Dengan kata lain, perhatian kepada sisi ‘tenure’ berikut bermacam bentuk konflik yang muncul akibat pengingkaran dan ketidakjelasan hak-hak tenurial masyarakat lebih besar dari perhatian pada sisi ‘security’.

Membedah berbagai macam bentuk hak tenurial masyarakat pada kawasan hutan tentu sangat penting. Paling tidak sebagai upaya penyadaran tentang pentingnya penyelesaian persoalan ini. Tetapi, pada situasi sekarang ini, tahap penyadaran itu perlu ditingkatkan lebih jauh dengan juga mendiskusikan apa yang sebenarnya yang kita inginkan untuk menciptakan kepastian tenurial itu. Tentu saja, untuk hal ini jawabannya tidaklah dengan menyatakan, secara sederhana, “Kembalikan atau berikanlah hak-hak tenurial atas tanah dan sumber daya alam kepada masyarakat”. Tetapi yang kita butuhkan sekarang adalah pemikiran yang konkrit, utuh dan mendalam tentang apa bentuk hak tenurial itu? Elemen-elemen dasar apa yang perlu tersedia untuk menyatakan bahwa hak tenurial itu bersifat ‘pasti’? Apa yang kita maknai dengan kata “kepastian”? Terakhir, mampukah kerangka hukum kehutanan dan pertanahan yang ada di Indonesia menyediakannya?

Kepastian tenurial pada umumnya diartikan sebagai pemberian atau pengakuan hak pada masyarakat. Jika diartikan dengan cara demikian maka kepastian tenurial merupakan ekspresi dari pendekatan berbasis hak (right-based approach-RBA) dalam pembangunan. RBA ini sangat terkait dengan analisis hukum. Oleh karena itu sangat beralasan jika kepastian tenurial selalu dikaitkan dengan konstruksi normatif dari sebuah sistem hukum apapun. Dalam hal inilah maka perbincangan tentang kepastian tenurial sering menjawab pertanyaan tentang hak apa yang seharusnya diperoleh masyarakat dan bagaimana prosedur yang seharusnya dilalui. Penekanan pada kata 'seharusnya' inilah yang menyebabkan kepastian tenurial itu merupakan sebuah konstruksi normatif.

Di samping sebagai sebuah konstruksi normatif, kepastian tenurial juga bisa dipahami dengan cara lain. Place, Roth dan Hazell (1994), misalnya, mengartikannya sebagai persepsi individual tentang kepemilikan atas sebidang tanah atau sebuah sumber daya secara langgeng, bebas dari kendali atau intervensi pihak lain, dan memungkinkan orang yang bersangkutan memperoleh keuntungan atas tanah dan sumber daya tersebut serta mempunyai kebebasan untuk menggunakan atau mengalihkannya kepada orang lain. Jika kita mengikuti konsep ini maka kepastian tenurial itu bukan saja sebuah konstruksi normatif tetapi ia adalah sebuah konsep yang terkait dengan alam pikir dan persepsi.

Sebagai sebuah persepsi subyektif maka pemahaman tentang kepastian tenurial tentu akan beragam pada setiap orang dan di setiap masa. Dengan kata lain, ia akan bersifat lokal, praktis, plural dan kontekstual. Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh pembuat hukum untuk menghadapi hal ini? Kita perlu ingat bahwa hukum itu selalu bersifat umum dan abstrak. Di sinilah tantangannya. 

Memformulasikan kepastian tenurial dalam sebuah produk hukum adalah seni untuk memadukan konstruksi general, abstrak, formal dan normatif dengan lokal, konkrit, subtantif dan faktual. Pekerjaan ini bukanlah hal yang mudah. Karenanya, memahami kepastian tenurial tidak lagi bisa dilakukan dengan membuat dikotomi tentang ada atau tiadanya kepastian tersebut. Kepastian tenurial adalah sebuah proses yang bergerak dalam sebuah pendulum. Kadang-kadang ia lebih cenderung pada konstruksi normatif yang abstrak namun pada saat yang lain pendulum itu lebih mengarah pada konstruksi faktual dan konkrit. Tekanan sosial, politik dan ekonomi tertentulah yang menyebabkan pendulum itu mempunyai energi untuk bergerak.

Dengan sifat seperti ini maka menilai kepastian tenurial itu dapat dilakukan dengan menilai ‘derajat kepastian’, bukan dengan menilai 'eksistensi kepastian'nya. Karena itu, pernyataannya kemudian adalah tentang ‘kurang atau lebih pasti’ daripada ‘pasti dan tidak pasti’. Kategori yang terakhir ini mungkin akan sulit diterima oleh mereka yang menyakini kepastian hukum sebagai sebuah realitas hitam dan putih. Artinya, kita hanya akan sampai pada kesimpulan tentang ada atau tidak adanya kepastian tersebut. 

Ketika harapan tentang kepastian itu tidak ditemukan maka ia dipahami tidak lebih dari sebuah mitos. Tetapi, apakah sebenarnya yang diyakini sebagai kepastian dalam konteks penguasaan tanah dan sumber daya alam? Apakah adanya sebuah hak milik, yang dalam bahasa hukum agraria dipahami sebagai hak terkuat dan terpenuh bagi pemegang haknya, merupakan jawaban adanya kepastian tenurial? Bagaimana jika hak milik tersebut ternyata diberikan pada tanah yang tandus sehingga sulit memberikan nilai ekonomi yang tinggi? Manakah yang lebih dipilih oleh masyarakat antara hak milik pada tanah tandus itu atau hak sewa jangka panjang pada tanah yang subur? Contoh yang lain, bagaimana jika hak milik itu terletak di atas tanah yang akses menuju kepada tanah tersebut sangat jauh dan tidak aman? Manakah yang sebenarnya mitos dan realitas itu?

Persepsi seseorang tentang kepastian tenurial terbentuk dari berbagai faktor yang akan menyebabkannya bisa menikmati dan mendapat keuntungan yang maksimal dan langgeng dari tanah dan sumber daya alam. Pendekatan sosio-legal akan mampu menggali hal tersebut. Karena pendekatan ini tidak semata-mata mengandalkan analisis yuridis normatif tetapi juga mampu menguak konteks dan faktor yang menyebabkan persepsi tersebut muncul. Namun, pendekatan sosio-legal bukan bersifat antipati terhadap pendekatan normatif. Ia hadir untuk melengkapi dan menjadikan pendekatan normatif itu lebih efektif untuk dilaksanakan.

Dengan menggunakan pendekatan sosio-legal maka mitos tentang kepastian tenurial bisa diubah menjadi realitas sepanjang beberapa indikator penilai derajat kepastian tenurial itu digunakan. Di sini beberapa elemen yang disampaikan Lindsay (1998) dapat diadopsi. 

Elemen-elemen kepastian tenurial yang dimaksud adalah: (1) kejelasan tentang substansi hak; (2) kepastian hukum atas hak, dalam arti bahwa hak tersebut tidak dapat diambil atau diubah secara sepihak atau tidak adil oleh pihak lain; (3) jangka waktu berlakunya hak yang memungkinkan pemegang hak mendapatkan manfaat; (4) penegakan dan perlindungan hak terhadap pihak lain terutama negara; (5) hak bersifat eksklusif, artinya pemegang hak dapat mengeluarkan dan mengontrol pihak luar yang memanfaatkan tanah dan sumber daya; (6) pemegang hak diakui oleh hukum sebagai badan hukum yang dapat melakukan aktivitas dan melindungi haknya; (7) aparat pemerintah yang memberikan atau mengakui hak itu mempunyai posisi dan kewenangan yang sah dan tepat. Selanjutnya, ketujuh elemen itu perlu ditambah dengan elemen baru (8) secara nyata masyarakat pemegang hak dapat melaksanakan dan mengambil manfaat dari kegiatan yang sesuai dengan ruang lingkup hak-haknya itu secara aman tanpa gangguan dari pihak lain. Penilaian akan rasa aman kembali bergantung pada persepsi dan konteks.

Dengan mengetahui elemen-elemen itu maka kita bisa menilai seberapa jauh format hukum yang ada mendorong kepastian tenurial itu. Selain itu, dengan bekal elemen-elemen itu maka kita juga bisa mendorong agar reformasi hukum tanah dan sumber daya alam di Indonesia bisa memberikan kepastian tenurial yang lebih kuat dan lebih luas kepada masyarakat. Dengan cara inilah maka refor-masi itu menjadi lebih terukur, memiliki arah pergerakan yang jelas dan lebih peka terhadap realitas. Semoga pemikiran yang lebih konkrit tentang hal ini bisa segera terwujud sehingga kepastian hukum yang nyata atas hak-hak penguasaan masyarakat pada tanah dan sumber daya alam di kawasan hutan semakin terlindungi. ***