Pada masa kejayaan Aceh, akhir abad XV, Aceh pernah melahirkan seorang tokoh wanita bernama Keumalahayati. Adapun nama Keumala dalam bahasa Aceh itu sama dengan kemala yang berarti sebuah batu yang indah dan bercahaya, banyak kasiatnya dan mengandung kesaktian. (Poerwadarminto, 1989 : 414). Berdasarkan sebuah manuskrip (M.S.) yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia din berangka tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M, Keumalahayati berasal dari kalangan bangsawan Aceh, dari kalangan sultan-sultan Aceh terdahulu. Ayah Keumalahayati bernama Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya dari garis ayahnya adalah Laksamana Muhammad Said Syah putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah sekitar tahun 1530-1539 M. Adapun Sultan Salahuddin Syah adalah putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M), yang merupakan pendiri Kerajaan Aceh Darussalam. (Rusdi Sufi, 1994 : 30-33).

Jika dilihat dari silsilah Keumalahayati dapat dipastikan bahwa dirinya berasal dari darah biru, yang merupakan keluarga bangsawan keraton. Ayah dan kakeknya Keumalahayati pernah menjadi Laksamana Angkatan Laut, sehingga jiwa bahari yang dimiliki oleh ayah dan kakeknya sangat berpengaruh pada perkembangan pribadinya, seperti kata pepatah, "buah jatuh tidak jauh dari pohonnya". Oleh karena sang ayah dan kakeknya seorang Panglima Angkatan Laut, maka jiwa bahari tersebut dapat diwarisi oleh Keumalahayati. Kendatipun dirinya hanya seorang wanita, ia juga ingin menjadi seorang pelaut yang gagah berani seperti ayah dan kakeknya. Sepanjang catatan sejarah, tahun kelahiran dan tahun kematian Keumalahayati belum diketahui dengan pasti. Hanya dapat ditafsirkan bahwa masa hidup Keumalahayati sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI.

Pada masa Keumalahayati masih remaja, Kerajaan Aceh Darussalam telah memiliki Akademi Militer yang bernama Mahad Baitul Maqdis, yang terdiri dari jurusan Angkatan Darat dan Laut, dengan para instrukturnya sebagian berasal dari Turki. Sebagai anak seorang Panglima Angkatan Laut, Keumalahayati mendapat kebebasan untuk memilih pendidikan yang ia inginkan. Setelah melalui pendidikan agama di Meunasah, Rankang dan Dayah, Keumalahayati berniat mengikuti karir ayahnya yang pada waktu itu telah menjadi Laksamana. Sebagai seorang anak yang mewarisi darah bahari, Keumalahayati bercita-cita ingin menjadi pelaut yang tangguh. Untuk mewujudkan cita-citanya menjadi seorang pelaut, ia kemudian ikut mendaftarkan diri dalam penerimaan calon taruna di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis. Berkat kecerdasan dan ketangkasannya, ia diterima sebagai siswa taruna akademi militer tersebut.

Pendidikan militer pada tahun pertama dan kedua ia lalui dengan sangat baik, karena ternyata ia adalah seorang taruna wanita yang berprestasi sangat memuaskan. Sebagai taruna yang cakap dan mempunyai prestasi yang sangat menonjol telah membuat la sangat dikenal di kalangan para taruna lainnya, termasuk juga para taruna yang setingkat lebih tinggi dari dirinya. Maka tidak mengherankan kalau banyak mahasiswa di Akademi Militer tersebut yang sayang padanya. Bahkan banyak pula yang telah tertambat hatinya pada wanita tersebut. Namun di antara sekian banyak taruna laki-laki yang jatuh cinta padanya, tidak ada yang berkenan di hatinya. la lebih mementingkan pendidikannya dari pada memikirkan hal-hal yang menurutnya belum saatnya untuk dilakukan. Sebagai siswa yang berprestasi di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis, Keumalahayati berhak memilih jurusan yang ia inginkan. Sebagai seorang anak yang mewarisi darah bahari, ia memilih jurusan Angkatan Laut. Maklum karena sejak kecil jiwa pelaut telah ditanam oleh ayah dan kakeknya. Dalam masa-masa pendidikan militernya, ia berhasil dengan mudah melahap semua ilmu-ilmu yang diberikan oleh para instrukturnya.

Pada suatu saat di Kampus Akademi Militer Mahad Baihil makdis tersebut, Keumalahayati berkenalan dengan seorang calon perwira laut yang lebih senior dari dirinya. Perkenalan berlanjut hingga membuahkan benih-benih kasih sayang antara pria dan wanita. Keduanya akhirnya sepakat menjalin cinta asmara, dua tubuh satu jiwa, menyatu dalam cinta, mengarungi bahtera kehidupan yang bergelombang ini bersama-sama untuk menuju pantai bahagia, menikmati indahnya cinta. Setelah tamat pendidikan di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis, keduanya akhimya menikah sebagai suami-istri yang bahagia. Sejarah akhirnya mencatat, bahwa pasangan suami-istri alumni dari Akademi Militer ini menjadi Perwira Tinggi Angkatan Laut Aceh yang gagah berani dalam setiap pertempuran laut melawan armada Portugis.

Komandan Protokol lstana
Sebagai seorang perwira muda lulusan Akademi Militer Baitul Makdis di Aceh dan memiliki prestasi pendidikan yang sangat memuaskan, Keumalahayati memperoleh kehormatan dan kepercayaan dari Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil (1589 -1604), dia diangkat menjadi Komandan Protokol lstana Darud Dunia dari Kerajaan Aceh Darussalam. Jabatan sebagai Komandan Protokol lstana bagi Keumalahayati adalah merupakan jabatan yang tinggi dan terhormat. Jabatan tersebut sangat besar tanggung jawabnya, karena di samping menjadi kepercayaan Sultan, juga harus menguasai soal etika dan keprotokolan sebagai mana lazimnya yang berlaku di setiap istana kerajaan di manapun di dunia. Bersamaan dengan pengangkatan Keumalahayati sebagai Komandan Protokol Istana, diangkat pula Cut Limpah sebagai komandanintelijen istana (geheimraad).(Rusdi Sufi, 1994 :31).

Panglima Armada Inong Balee
Sejarah hidup Keumalahayati mengingatkan kita pada perjalanan hidup Cut Nyak Dhien. Ketika suaminya yang bemama Teuku Umar gugur di medan perang melawan Belanda, Cut Nyak Dhien bertekad untuk meneruskan perjuangan suaminya. Demikian pula halnya dengan Keumalahayati. Ketika suaminya gugur dalam pertempuran laut melawan Portugis di perairan Selat Malaka, Keumalahayati bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya. Semangat juang dan kepahlawanannya dapat disejajarkan dengan Srikandi, seorang tokoh pahlawan wanita dalam kisah Mahabharata. Oleh karena itulah maka Laksamana Keumalahayati Juga terkenal dengan sebutan "Srikandi dari Aceh". Mengenai tokoh Srikandi ini dapat kita lihat pada kitab Mahabharata. Srikandi adalah istri Harjuna, seorang ksatria pandawa yang terkenal sakti dalam Perang Baratayudha. Srikandilah yang berhasil membunuh Maharsi Bisma, Panglima Perang Korawa. Berkat kemenangan Srikandi itulah, maka Pandawa berhasil menghancurkan tentara Korawa.(Nyoman S. Pendit, 1970 : 189; I Made Purna, 1994 : 54-61).

Kisah kepahlawanan Keumalahayati dimulai ketika terjadi pertempuran laut antara armada Portugis versus armada Kerajaan semasa Pemerintahan Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil. Armada Aceh dipimpin sendiri oleh Sultan dan dibantu dua orang Laksamana. Pertempuran dahsyat yang terjadi di Teluk Haru tersebut berakhir dengan hancurnya armada Portugis, sedangkan di pihak Aceh, kehilangan 2 (dua) orang Laksamana dan 1000 (seribu) prajuritnya gugur. Salah seorang Laksamana yang gugur dalam pertempuran di Teluk Haru itu, adalah suaminya Keumalahayati yang menjabat sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia. Adapun nama suami Keumalahayati yang ikut terbunuh dalam pertempuran tersebut belum dapat diketahui dengan pasti. Kemenangan armada Selat Malaka Aceh atas armada Portugis disambut dengan gembira oleh seluruh rakyat Aceh Darussalam. Begitu pula Keumalahayati merasa gembira dan bangga atas kepahlawanan suaminya yang gugur di medan perang. Walaupun dirinya bangga, ia juga geram dan marah pada Portugis. Maka tidak mengherankan jika ia ingin menuntut balas atas kematian suaminya dan bersumpah akan terus memerangi Portugis. Untuk melaksanakan niatnya, ia mengajukan perrnohonan kepada Sultan Al Mukammil untuk membentuk armada Aceh yang prajurit-prajuritnya semua wanita-wanita janda, yang suami mereka gugur dalam pertempuran Teluk Haru.

Mengingat Keumalahayati adalah seorang prajurit yang cakap dan alumni dari Akademi Militer, maka dengan senang hati Sultan mengabulkan permohonannya. Untuk itu Keumalahayati diserahi tugas sebagai panglima armada dan diangkat menjadi Laksamana. Armada yang baru dibentuk tersebut diberi nama Armada Inong Bale(Armada Wanita janda) dengan mengambil Teluk Krueng Raya sebagai pangkalannya, atau nama lengkapnya Teluk Lamreh Krueng Raya. Di sekitar Teluk Krueng Raya itulah Laksamana Keumalahayati membangun benteng Inong Balee yang letaknya di perbukitan yang tingginya sekitar 100 meter dari permukaan laut. Tembok yang menghadap laut lebarnya 3 meter dengan lubang-lubang meriam yang moncongnya mengarah ke pintu Teluk. Benteng yang dalam istilah Aceh disebut Kuta Inong Balee (Benteng Wanita Janda) tersebut, hingga sekarang masih dapat kita saksikan di Teluk Krueng Raya, dekat Pelabuhan Malahayati.

Armada Inong Balee ketika dibentuk hanya berkekuatan 1000 orang janda muda yang suaminya gugur di medan perang laut Haru. Dan jumlah pasukan tersebut, oleh Laksamana Keumalahayati diperbesar lagi menjadi 2000 orang. Tambahan personil ini bukan lagi janda-janda, tetapi para gadis remaja yang ingin bergabung dengan pasukan Inong Balee yang dipimpin Laksamana Keumalahayati. (A. Hasjmy, 1980: 3).

Keumalahayati adalah seorang wanita Aceh pertama yang berpangkat Laksamana (Admiral) Kerajaan Aceh dan rnerupakan salah seorang pemimpin armada laut pada masa Pemerintahan Sultan Alaiddin Riayatsyah Al Mukammil (1589-1604) yang populer disebut dengan Sultan Al Mukammil saja. (J. Davis dalam Jacobs, 1894 : 185). Sebelum diangkat sebagai Panglima Perang Laut (Laksamana), Keumalahayati pernah menjabat sebagai pemimpin pasukan ketentaraan wanita di Kerajaan Aceh (Van Zeggelen, 1935 : 89). Setelah Keumalahayati sukses mengemban tugas sebagai Kepala Pasukan Wanita Kerajaan Aceh, ia diangkat oleh Sultan menjadi Admiral (Laksamana), sebuah pangkat tertinggi dalam militer. (Davis dalam Yacobs, 1894).

Pada saat berkuasa, usia Sultan sudah sangat tua (95 tahun). Maka tidak mengherankan jika di istana sering terjadi intrik-intrik yang berhubungan dengan suksesi dan berbagai usaha untuk menyingkirkan Sultan dari kursi kerajaan. (Wap, 1862 : 12). Hal itu menyebabkan Sultan menjadi tidak percaya pada setiap laki-laki yang dianggapnya akan mendongkel dirinya dari singgasana. Sultan sudah trauma dengan para laki-laki yang dianggapnya telah menyalah gunakan kekuasaannya untuk menjatuhkan dirinya. Mungkin karena kecurigaannya terhadap kaum laki-laki (Davis dalam Jacobs, 1894), Sultan akhirnya pada keputusan untuk mengangkat seorang wanita sebagai Laksamana. Kemungkinan tersebut semakin jelas ketika Sultan mengangkat Malahayati sebagai Laksamana. Sultan juga mengangkat seorang Cut Limpah sebagai "dewan rahasia" istana yang oleh Van Zeggelen disebut sebagai"geheimraad ". (Van Zeggelen, 1935).

Setelah memangku jabatan sebagai Laksamana, Keumalahayati mengkoordinir sejumlah Pasukan Laut, mengawasi pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah Syahbandar\(Van Zeggelen, 1894 : 88-89) dan juga kapal-kapal jenis galey milik Kerajaan Aceh(Van Zeggelen, 1935 : 149). John Davis, seorang berkebangsaan Inggris yang menjadi nahkoda pada sebuah kapal Belanda yang mengunjungi Kerajaan Aceh pada masa Keumalahayati menjadi Laksamana, menyebutkan bahwa Kerajaan Aceh pada masa itu memiliki perlengkapan armada laut yang terdiri dari 100 buah kapal (galey), di antaranya ada, yang berkapasitas muatan sampai 400-500 penumpang. Yang menjadi pemimpin pasukan tersebut adalah seorang wanita berpangkat Laksamana.(Davis dalam Yacobs, 1894).

Pada awal abad XVII, Kerajaan Aceh telah memiliki angkatan perang yang tangguh. Kekuatannya yang terpenting adalah kapal-kapal galey yang dimiliki Angkatan Lautnya. Di samping itu, Angkatan Darat Kerajaan Aceh juga memiliki pasukan gajah. Untuk mengawasi daerah kekuasaan dan daerah taklukan, Kerajaan Aceh menempatkan kapal-kapal perangnya di pelabuhan-pelabuhan yarg berada di bawah kekuasaan atau di bawah pengaruhnya, misalnya Daya dan Pedir. Di antara kapal-kapal itu ada yang besarnya melebihi ukuran kapal-kapal yang dimiliki bangsa Eropa. (Braddel, 1851 : 19).

Peristiwa Cornelis de Houtman
Sejarah mencatat bahwa dalam pelayarannya yang pertama 4 buah kapal Belanda di bawah pimpinan Cornelis de houtman pada tanggal 22 Juni 1596 berlabuh di pelabuhan Banten. (Solichin Salam, 1987 : 2). Setelah kembali ke negeri Belanda, dalam pelayarannya yang kedua armada dagang Belanda yang dipersenjatai seperti kapal perang menghadapi kontak senjata dengan Kerajaan Aceh pada tanggal 21 Juni 1599. Dua buah kapal Belanda yang bernama de Leeuw dan de Leeuwin berlabuh di ibukota Kerajaan Aceh. Kedua kapal tersebut masing-masing dipimpin oleh dua orang bersaudara yang bernama Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman. Pada awalnya kedua kapal Belanda tersebut mendapat sambutan baik dari pihak Aceh karena darinya diharapkan akan dapat dibangun kerjasama perdagangan yang saling menguntungkan. Dengan kedatangan Belanda tersebut berarti Aceh akan dapat menjual hasil-hasil bumi, khususnya lada kepada Belanda.

Namun dalam perkembangannya, akibat adanya hasutan yang dilakukan oleh seorang berkebangsaan Portugis yang kebetulan sedang berbaik dengan Kerajaan Aceh sehingga dijadikan sebagai penterjemah Sultan. Akibat hasutan tersebut, Sultan menjadi tidak senang dengan kehadiran Belanda dan memerintahkan untuk menyerang orang-orang Belanda yang masih berada di kapal. Kebetulan yang menjadi pemimpin penyerangan adalah Laksamana Keumala Hayati. Dalam penyerangan tersebut, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh dan Frederick de Houtman ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara. (Van Zeggelen, 1935 :157; Davis dalam Yacobs, 1984 : 180; Tiele, 1881 : 146-152).

Frederick de Houtman mendekam dalam tahanan Kerajaan Aceh selama 2 tahun. Selama di penjara, ia menulis buku berupa kamus Melayu-Belanda yang merupakan kamus Melayu-Belanda pertama dan tertua di Nusantara. Peristiwa penyerangan kapal Belanda yang dilakukan oleh Laksamana Keumalahayati tersebut dilukiskan oleh Marie van C. Zeggelen dalam bukunya yang berjudul "Oude Glorie", hal. 157, yang dalam bahasa lndonesianya kira-kira sebagai berikut : DI kapal Van Leeuw telah dibunuh Cornelis de Houtman dan anak buahnya Frederick Houtman, oleh Keumalahayati sendiri dan penukis rahasia diserang, kemudian sebagai tawanan dibawa ke darat. Davis dan Tomkins, keduanya terluka, tinggal di kapal bersama mereka yang mati dan terluka. Dan pada tengah hari kabel pengikat kapal diputuskan dan merekapun berlayarlah.

Laksamana Keumalahayati Sebagai Seorang Diplomat
Keumalahayati bukan hanya sebagai seorang Laksamana dan Panglima Armada Angkatan Laut Kerajaan Aceh, tetapi la juga pemah menjadi Komandan pasukan Wanita Pengawal Istana. lebih dari itu ia juga seorang diplomat dan juru runding yang handal. Hal ini telah dibuktikan dengan berbagai pengalaman dalam praktek menghadapi counter part-nya dari Belanda maupun lnggris. Sebagai seorang militer, Keumalahayati tegas dan disiplin tinggi, tetapi dalam menghadapi perundingan, la bersikap luwes tanpa mengorbankan prinsip.

Sebagai seorang militer dan panglima armada, la dapat bersikap tegas tanpa mengenal kompromi menghadapi lawan. Namun sebagai seorang diplomat Keumalahayati dapat bersikap ramah dan luwes dengan lawan berundingnya. Sosok diplomat wanita Aceh ini tampak berwibawa. Tidak berapa lama sesudah peristiwa Cornelis de Houtman, pada tanggal 21 Nopember 1600 datang lagi, bangsa Belanda ke Kerajaan Aceh dengan dua buah kapal yang dipimpin oleh Paulus van Caerden (Wap, 1862 :13; Valentijn, 1862 : 82). Rupa-rupanya, sebelum memasuki Pelabuhan Aceh, mereka telah melakukan tindakan yang ceroboh, yaitu menenggelamkan sebuah kapal dagang Aceh dengan terlebih dulu memindahkan segala muatan lada dari kapal itu ke dalam kapal-kapal mereka dan kemudian pergi begitu saja meninggalkan Pantai Aceh.

Setelah peristiwa perampokan yang dilakukan oleh kapal Belanda terhadap kapal Aceh, datang lagi rombongan kapal Belanda yang dipimpin Laksamana Yacob van Neck. Mereka tidak mengetahui apa yang telah dilakukan oleh van Caerden. Sewaktu mendarat di ibukota Kerajaan Aceh pada tanggal 31 Juni l601, mereka memperkenalkan diri kepada Sultan Aceh bahwa mereka adalah pedagang bangsa Belanda dan datang ke Aceh untuk membeli lada. Setelah rnengetahui rombongan yang datang tersebut adalah orang Belanda, Keumalahayati langsung memerintahkan anak buahnya menahan mereka dan memperlakukan mereka secara tidak baik. Oleh Keumalahayati diinformasikan bahwa dua buah kapal Belanda yang datang sebelumnya telah menenggelamkan kapal milik Aceh dan membawa sejumlah lada tanpa bayaran. Oleh karena itu, sebagai ganti rugi. Sultan telah memerintahkan untuk menawan setiap kapal Belanda yang berlabuh di perairan Aceh. (Yacobs, 1894 ; 189-198).

Menjelang 23 Agustus 1601 pedagang-pedagang bangsa Belanda lainnya, di bawah pimpinan Gerard de Roy dan Laurens Bicker dengan 4 buah kapal masing-masing Zeelandia, Middelborg, langhre Bracke dan Sonne tiba di Pelabuhan Aceh. Kapal tersebut memang sengaja datang ke Aceh atas perintah Pangeran Maurits dari negeri Belanda untuk menjalin hubungan persahabatan dengan Kerajaan Aceh. Keduanya mendapat perintah untuk menyampaikan beberapa hadiah dan sepucuk surat agar dipersembahkan kepada Sultan Aceh.

Sebelum surat tersebut disampaikan kepada Sultan Aceh terjadilah perundingan antara Laksamana Keumalahayati dengan Laksamana Laurens Becker dan Komisaris Gerard de Roy dari kerajaan Belanda. Perundingan tersebut membuahkan hasil berupa : terwujudnya perdamaian antara Belanda dan Aceh. Selanjutnya sebagai imbalan dari dibebaskannya Federijck de Houtman dari tahanan. Belanda harus membayar kerugian kapal-kapal Aceh yang dibajak oleh Van Caerden. Berkat kepandaian Keumalahayati berdiplomasi, akhirnya Belanda bersedia rnembayar kerugian sebesar 50.000 golden.(Teuku Abdul Jalil 1980 : 2-4).

Setelah bertemu dengan Sultan Aceh, utusan Pangeran Maurits tersebut mengakui betapa baik sambutan pihak Aceh kepada para pedagang Belanda ketika mereka pertama kali tiba di pelabuhan. Karena adanya hasutan dari pihak luarlah Sultan dan aparatnya bertindak tidak baik terhadap para tamunya tersebut. Dalam surat tersebut, Pangeran Maurits meminta kepada Sultan Aceh untuk tidak rnempercayai hasutan-hasutan dari pihak luar. Ia memohon pula agar pihak Aceh bersedia membebaskan kembali orang-orang Belada yang ditawan.

Laurens Bicker, sebagai salah seorang pemimpin rombongan menyampaikan rasa penyesalannya atas perbuatan yang telah dilakukan oleh van Caerden dan kawan-kawannya dahulu. Sekembalinya ke negeri Belanda, ia berjanji akan menuntut kompeni dagang van Caerden atas tindakannya yang main rampas. Bickers temyata tidak berbasa-basi dan janjinya kepada Kerajaan Aceh ia tepati. Hal itu terbukti dengan adanya hukuman denda yang dijatuhkan oleh Mahkamah Amsterdam atas van Caerden, berupa keharusan membayar denda sebesar 50.000 gulden kepada pihak Aceh dan uang sejumlah tersebut benar-benar dibayarkan kepada Aceh (de Jonge, 1862 : 234).Pihak Belanda yang dipimpin oleh Bickers ternyata berhasil meyakinkan pihak Aceh melalui Keumalahayati. Oleh karena itu Sultan Aceh kemudian bersedia menerima kehadiran mereka di istana Kerajaan. Mereka diizinkan berdagang di Aceh. Keumalahayati diperintahkan membebaskan semua tawanan Belanda termasuk Frederick de Houtman.

Peristiwa penting lainnya yang terjadi pada masa Keumalahayati menjadi Laksamana adalah pengiriman tiga orang utusan Aceh menghadap Pangeran Maurits dan Majelis Wakil Rakyat Belanda. Ketiga utusan tersebut bernama Abdoel Hamid, Sri Muhammad, salah seorang perwira armada laut di bawah Keumalahayati, dan Mir Hasan seorang bangsawan Kerajaan Aceh (Wap, 1862 : 17). Ketiganya merupakan duta Aceh pertama dari Kerajaan di Asia yang pernah dikirim ke Eropa (Negeri Belanda).

Belanda yang pada saat itu sedang menghadapi Perang Kemerdekaan melawan penjajahan Spanyol yang dalam sejarah Belanda dikenal dengan Perang 80 Tahun, ketika menerima utusan dari Aceh disambut dengan upacara kenegaraan. Dalam upacara tersebut, hadir pula tamu-tamu terhormat dari beberapa negara Eropa yang menyaksikan pengakuan de jure dari Kerajaan Aceh. (Wap, 1862 : 17). Dengan demikian Republik Belanda yang baru lahir di bawah pimpinan Pangeran Maurits, pendiri Dinasti Oranye itu telah terangkat derajatnya di kalangan negara-negara Eropa.

Salah seorang utusan dari Aceh yang bernama Abdoel Hamid, mengingat usianya yang sudah usur (71 tahun), akhirnya meninggal di kota Middelburg dan dimakamkan di kota tersebut atas biaya Penguasa Kompeni Hindia Timur (VOC). (Wep, 1862: 18-19). Dua utusan lainnya kembali ke Aceh dengan selamat. Sekarang giliran lnggris bermaksud untuk menjalin hubungan dagang dengan Kerajaan Aceh. Untuk itu Ratu Elizabeth I (1558-1603) mengirim utusan ke Kerajaan Aceh. Sebagai realisasinya pada tanggal 6 Juni 1602 James Lancaster, seorang perwira dari Angkatan Laut Inggris bersama rombongannya tiba di Pelabuhan Aceh. la membawa sepucuk surat dari ratunya Elizabeth I untuk dipersembahkan kepada Sultan Aceh At Mukammil. (Jacobs, 1894 : 202).

Setibanya di Aceh, sebelum bertemu dengan Sultan, Lancaster terlebih dahulu mengadakan perundingan dengan Laksamana Keumala Hayati. Pembicaraan itu dilakukan dengan bahasa Arab. Lancaster dapat mengerti bahasa itu karena ia membawa serta seorang Yahudi dari Inggris sebagai penerjemah dari bahasa Arab ke bahasa lnggris. (Jacobs, 1894 : 202). Dalam perundingan tersebut, utusan lnggris menyampaikan pentingnya menjalin kerja sama ekonomi dan perdagangan antara Inggris dengan Kerajaan Aceh. Selain itu Lancaster meminta kepada Keumalahayati agar tetap memusuhi Portugis dan berbaik hati pada orang-orang Inggris. Ia meminta agar Aceh membantu utusan-utusan Inggris di Aceh. Setelah perundingan selesai, Laksamana Keumalahayati meminta pada Lancaster agar semua keinginan tersebut dimintakan atas nama Ratu Inggris dan dibuat secara tertulis untuk disampaikan kepada Sultan Aceh. Setelah surat permohonan itu selesai dibuat, James Laueaster diperkenankan menghadap Sultan. Dengan didampingi Laksamana Keumalahayati, Sultan akhirnya bersedia berunding dengan Lancaster sebagai wakil dari Ratu lnggris.

Tampaknya Portugis tidak suka melihat kedatangan orang-orang Belanda dan lnggris di Aceh. Oleh karena itu mereka kemudian mendirikan benteng di Pulau yang terletak di Pantai Aceh. Hal itu kemudian ditentang oleh pihak Aceh dan merupakan batu ujian bagi Laksamana Keumalahayati.

Menyelesaikan Intrik Kerajaan
Pada tahun 1603 Sultan Alaiddin Riayat Syah Al-Mukammil menempatkan anak laki-lakinya yang tertua sebagai pendampingnya di atas tahta Kerajaan Aceh. Oleh karena berambisi ingin menjadi Sultan penuh, putranya itu menyingkirkan si Ayah dari kedudukan sebagai Sultan dan mengangkat dirinya sebagai Sultan dengan menggunakan gelar Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607).

Tahun-tahun pertama pemerintahan Sultan yang baru ini ditandai dengan adanya bencana-bencana yang menimpa Kerajaan Aceh, seperti adanya musim kemarau yang sangat panjang, pertikaian berdarah dengan saudaranya dan juga adanya ancaman dari pihak Portugis. Sultan nampaknya tidak mampu mengatasi kesulitan tersebut. Apalagi pemerintahannya sendiri berjalan dengan tidak memuaskan hati rakyat. Hal ini disebabkan karena caranya mencapai kedudukan sebagai Sultan dengan menyingkirkan ayahnya sendiri. Rasa tidak puas juga disampaikan oleh Darmawangsa Tun Pangkat, seorang kemenakannya sendiri yang kemudian ditangkap dan dipenjara atas perintah Sultan. Ketika orang-orang Portugis menyerang Aceh pada bulan Juni 1606. Darmawangsa masih berada di penjara. Penyerangan Portugis ke Aceh dipimpin olehAlfonso de Castro. Sebagai orang Aceh, Darmawangsa tidak rela jika negerinya diserang musuh. Oleh karena itu ia meminta pada Sultan untuk membebaskan dirinya dari tahanan, agar ia dapat ikut bertempur melawan Portugis. Dengan diperkuat oleh permintaan Laksamana Keumalahayati, permohonan kemenakannya itu dikabulkan Sultan.

Setelah bebas dari tahanan. Darmawangsa bersama Keumalahayati menghadapi serangan Portugis. Pertempuran sengit di perairan Aceh pun terjadi. Berkat kecakapan dan kegigihan Laksamana Keumalahayati dan Darmawangsa, akhirnya pasukan Portugis berhasil dihancurkan. Sultan sendiri karena tidak cakap dan tidak disukai oleh rakyatnya tidak bertahan lama di singgasana. Dengan bantuan Laksamana Keumalahayati, akhirnya Darmawangsa Tun Pangkat berhasil menurunkan Sultan All Riayat Syah dari tahta kerajaan. Darmawangsa adalah tokoh yang cakap yang akhirnya menggantikan kedudukan Ali Riayat Syah sebagai Sultan Aceh dengan gelarSultan Iskandar Muda, yang memerintah Kerajaan Aceh mulai tahun 1607-1636 M.(Lombard, 1986 : 128-129).

Pada masa kekuasaannyalah kerajaan Aceh mencapai zaman keemasannya. Selanjutnya mengenai kematian Laksamana Keumalahayati belum dapat diketahui karena memang belum ada data atau petunjuk yang menerangkan kematiannya. Walaupun kelahiran dan kematiannya masih menjadi misteri, namun sepak terjang dan kepahlawanannya pantas dicatat dalam lembaran sejarah Aceh dengan tinta emas.