Lima lembaga lingkungan hidup dan perguruan tinggi yang tergabung dalam Konsorsium Ulayat menyerukan penyelamatan hutan Pulau Sumatera yang mendesak dilakukan. Laju kerusakan atau deforestasi kawasan hutan hujan tropis di Pulau Sumatera memberikan sumbangan besar mencapai 22,8 persen untuk kerusakan kawasan hutan Indonesia, seluas 1,7 juta hektare per tahun, kata Koordinator Konsorsium Ulayat Oka Adriansyah.
Ia mengatakan hal itu disela-sela lokakarya identifikasi dan penyelesaian masalah dalam pengembangan koridor Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) berbasi pengelolaan hutan lestari di bentang alam Bukit Balai Rejang. Saat ini kata dia, kawasan hutan Sumatera yang tersisa hanya 14 juta hektare, dari 44 juta hektare seluruh luas pulau itu.
Kehilangan tutupan hutan sebagian besar akibat aktivitas alih fungsi antara lain perkebunan, perambahan, pertambangan, penebangan liar dan peruntukan lainnya. Dengan kata lain, hanya 31 persen kawasan Pulau Sumatera yang berhutan dan akan terus menyusut jika tidak diselamatkan dari berbagai ancaman, katanya. Kehilangan hutan tropis Sumatera harus ditekan dengan berbagai upaya, salah satunya melakukan penelitian dan kajian tentang pengelolaan hutan lestari berbasis masyarakat.
Hal itu yang akan dilakukan Konsorsium Ulayat, khususnya di hutan koridor TNKS dan TNBBS yang ancamannya sangat tinggi, padahal termasuk ekosistim penting, tambahnya. Konsorsium yang terdiri dari Yayasan Ulayat Bengkulu, Yayasan Konservasi Sumatra, Wildlife Conservation Society Indonesian-Program (WCS-IP), Universitas Bengkulu dan Yayasan Akasia mengembangan konsep keterhubungan koridor TNKS-TNBBS di Bentang Alam Bukit Balai Rejang seluas 720 ribu hektare yang berada di 9 kabupaten di propinsi bengkulu dan 3 kabupaten di Sumatera Selatan. Konsep keterhubungan habitat dalam koridor tersebut akan dikembangkan melalui pengelolaan hutan berkelanjutan diantaranya skema Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Hutan Desa, HKM dan HTR), Restorasi Ekosistem, Pemanfaatan jasa lingkungan, serta mendorong penerapan HCVF (High Conservation Value Forests) di wilayah-wilayah konsesi.
Padahal kawasan koridor yang menghubungkan TNKS dan TNBBS ini merupakan salah satu ekosistim dengan keanekaragaman hayati tinggi, termasuk habitat Harimau Sumatra dan flora langka Raflesia arnoldi. Data dari Jurusan Kehutanan Universitas Bengkulu yang masuk dalam konsorsium ini menyebutkan terdapat 37 jenis flora dan fauna yang dilindungi di dalam kawasan koridor ini, katanya. Ia menambahkan, konsorsium juga akan menganalisis perubahan tutupan hutan Sumatra untuk mengetahui kondisi kehilangan hutan 10 tahunan dan mendapatkan data laju kehilangan tutupan hutan dari 2000 hingga 2010. (YUB)
0 Comments