Sumber Photo: http://koran-jakarta.com |
Kepada masyarakat
diberikan gambaran bahwa setiap kali harga minyak mentah di pasar internasional
meningkat, dengan sendirinya pemerintah harus mengeluarkan uang ekstra, dengan
istilah “untuk membayar subsidi BBM yang membengkak”.
Harga
minyak mentah di pasar internasional selalu meningkat. Sebabnya karena minyak
mentah adalah fosil yang tidak terbarui (not renewable). Setiap kali
minyak mentah diangkat ke permukaan bumi, persediaan minyak di dalam perut bumi
berkurang. Pemakaian (konsumsi) minyak bumi sebagai bahan baku BBM meningkat
terus, sehingga permintaan yang meningkat terus berlangsung bersamaan dengan
berkurangnya cadangan minyak di dalam perut bumi. Hal ini membuat bahwa
permintaan senantiasa meningkat sedangkan berbarengan dengan itu, penawarannya
senantiasa menyusut.
Sejak
lama para pemimpin dan cendekiawan Indonesia berhasil di-“brainwash”
dengan sebuah doktrin yang mengatakan : “Semua minyak mentah yang dibutuhkan
oleh penduduk Indonesia harus dinilai dengan harga internasional, walaupun kita
mempunyai minyak mentah sendiri.” Dengan kata lain, bangsa Indonesia yang
mempunyai minyak harus membayar minyak ini dengan harga internasional.
Harga
BBM yang dikenakan pada rakyat Indonesia tidak selalu sama dengan ekuivalen
harga minyak mentahnya. Bilamana harga BBM lebih rendah dibandingkan dengan
ekuivalen harga minyak mentahnya di pasar internasional, dikatakan bahwa
pemerintah merugi, memberi subsidi untuk perbedaan harga ini. Lantas dikatakan
bahwa “subsidi” sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pemerintah,
sedangkan pemerintah tidak memilikinya. Maka APBN akan jebol, dan untuk
menghindarinya, harga BBM harus dinaikkan.
Pikiran
tersebut adalah pikiran yang sesat, ditinjau dari sudut teori kalkulasi harga
pokok dengan metode apapun juga. Penyesatannya dapat dituangkan dalam
angka-angka yang sebagai berikut.
Harga
bensin premium yang Rp. 4.500 per liter sekarang ini ekuivalen dengan harga
minyak mentah sebesar US$ 69,50 per barrel. Harga yang berlaku US$ 105 per
barrel. Lantas dikatakan bahwa pemerintah merugi US$ 35,50 per barrel. Dalam
rupiah, pemerintah merugi sebesar US$ 35,50 x Rp. 9.000 = Rp. 319.500 per
barrel. Ini sama dengan Rp. 2009, 43 per liter (Rp. 319.500 : 159). Karena
konsumsi BBM Indonesia sebanyak 63 milyar liter per tahun, dikatakan bahwa
kerugiannya 63 milyar x Rp. 2009,43 = Rp. 126,59 trilyun per tahun. Maka kalau
harga bensin premium dipertahankan sebesar Rp. 4.500 per liter, pemerintah
merugi atau memberi subsidi sebesar Rp. 126,59 trilyun. Uang ini tidak
dimiliki, sehingga APBN akan jebol.
Pikiran
yang didasarkan atas perhitungan di atas sangat menyesatkan, karena sama sekali
tidak memperhitunkan kenyataan bahwa bangsa Indonesia memiliki minyak mentah
sendiri di dalam perut buminya.
Pengadaan
BBM oleh Pertamina berlangsung atas perintah dari Pemerintah. Pertamina
diperintahkan untuk mengadakan 63 milyar liter bensin premium setiap tahunnya,
yang harus dijual dengan harga Rp. 4.500 per liter. Maka perolehan Pertamina
atas hasil penjualan bensin premium sebesar 63.000.000.000 liter x Rp. 4.500 =
Rp. 283,5 trilyun.Kepada masyarakat diberikan gambaran bahwa setiap kali harga
minyak mentah di pasar internasional meningkat, dengan sendirinya pemerintah
harus mengeluarkan uang ekstra, dengan istilah “untuk membayar subsidi BBM yang
membengkak”.
Harga
minyak mentah di pasar internasional selalu meningkat. Sebabnya karena minyak
mentah adalah fosil yang tidak terbarui (not renewable). Setiap kali
minyak mentah diangkat ke permukaan bumi, persediaan minyak di dalam perut bumi
berkurang. Pemakaian (konsumsi) minyak bumi sebagai bahan baku BBM meningkat
terus, sehingga permintaan yang meningkat terus berlangsung bersamaan dengan
berkurangnya cadangan minyak di dalam perut bumi. Hal ini membuat bahwa
permintaan senantiasa meningkat sedangkan berbarengan dengan itu, penawarannya
senantiasa menyusut.
Sejak
lama para pemimpin dan cendekiawan Indonesia berhasil di-“brainwash”
dengan sebuah doktrin yang mengatakan : “Semua minyak mentah yang dibutuhkan
oleh penduduk Indonesia harus dinilai dengan harga internasional, walaupun kita
mempunyai minyak mentah sendiri.” Dengan kata lain, bangsa Indonesia yang
mempunyai minyak harus membayar minyak ini dengan harga internasional.
Harga
BBM yang dikenakan pada rakyat Indonesia tidak selalu sama dengan ekuivalen
harga minyak mentahnya. Bilamana harga BBM lebih rendah dibandingkan dengan
ekuivalen harga minyak mentahnya di pasar internasional, dikatakan bahwa
pemerintah merugi, memberi subsidi untuk perbedaan harga ini. Lantas dikatakan
bahwa “subsidi” sama dengan uang tunai yang harus dikeluarkan oleh pemerintah,
sedangkan pemerintah tidak memilikinya. Maka APBN akan jebol, dan untuk
menghindarinya, harga BBM harus dinaikkan.
Pikiran
tersebut adalah pikiran yang sesat, ditinjau dari sudut teori kalkulasi harga
pokok dengan metode apapun juga. Penyesatannya dapat dituangkan dalam
angka-angka yang sebagai berikut.
Harga
bensin premium yang Rp. 4.500 per liter sekarang ini ekuivalen dengan harga
minyak mentah sebesar US$ 69,50 per barrel. Harga yang berlaku US$ 105 per
barrel. Lantas dikatakan bahwa pemerintah merugi US$ 35,50 per barrel. Dalam
rupiah, pemerintah merugi sebesar US$ 35,50 x Rp. 9.000 = Rp. 319.500 per
barrel. Ini sama dengan Rp. 2009, 43 per liter (Rp. 319.500 : 159). Karena
konsumsi BBM Indonesia sebanyak 63 milyar liter per tahun, dikatakan bahwa
kerugiannya 63 milyar x Rp. 2009,43 = Rp. 126,59 trilyun per tahun. Maka kalau
harga bensin premium dipertahankan sebesar Rp. 4.500 per liter, pemerintah
merugi atau memberi subsidi sebesar Rp. 126,59 trilyun. Uang ini tidak
dimiliki, sehingga APBN akan jebol.
Pikiran
yang didasarkan atas perhitungan di atas sangat menyesatkan, karena sama sekali
tidak memperhitunkan kenyataan bahwa bangsa Indonesia memiliki minyak mentah
sendiri di dalam perut buminya.
Pengadaan
BBM oleh Pertamina berlangsung atas perintah dari Pemerintah. Pertamina
diperintahkan untuk mengadakan 63 milyar liter bensin premium setiap tahunnya,
yang harus dijual dengan harga Rp. 4.500 per liter. Maka perolehan Pertamina
atas hasil penjualan bensin premium sebesar 63.000.000.000 liter x Rp. 4.500 =
Rp. 283,5 trilyun.
Mohon Maaf Sumbernya Aku Lupa
0 Comments