Indonesia,
dudu bongso tempe/
Indonesia, iso ngadheg dhewe/
Ora usah, bantuan, kang soko PBB/
Iku mung alate Imperialis wae …
(Indonesia,
bukan bangsa tempe/
Indonesia,
mampu berdiri di atas kaki sendiri/
Tak
usah, bantuan dari PBB/
Itu
hanyalah alat imperialis… )
Lagu
bersyair bahasa Jawa itu sangat populer di kampung-kampung dan pelosok desa
Jawa pada tahun-tahun awal 1960-an, ketika Bung Karno – Presiden Republik
Indonesia saat itu — dengan tegas menyatakan, bahwa Indonesia keluar dari
keanggotaan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB). Barangsiapa lahir pada era
1950-an tentu masih ingat syair dan lagu tersebut. Pada masa itu, istilah
kapitalisme, kapitalis dan imperialisme, imperialis serta kolonialisme,
kolonialis atau nekolim alias neo kolonialisme dan neo imperialisme tak asing
di telinga rakyat jelata, karena sering kita dengar dalam percakapan
sehari-hari di kampung-kampung dan di warung-warung. Istilah-istilah itu memang
populer pada tahun 1960-an berseiring dengan syair dan lagu Nasakom
Bersatu:
Acungkan tinju kita/Satu padu/Bersatu bulat semangat
kita/Ayo terus maju/
reff:
Nasakom bersatu/Singkirkan kepala batu/Nasakom satu cita/Sosialisme pasti jaya
Nasakom bersatu/Singkirkan kepala batu/Nasakom satu cita/Sosialisme pasti jaya
Lagu-lagu
tersebut nampaknya memang dicipta untuk meneguhkan Nation and
Character Building –
peneguhan indentitas kolektif (collective
identity), identitas kebangsaan
Indonesia sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat; sekaligus menunjukkan
bahwa kapitalisme, imperialisme dan kolonialisme sebagai musuh bersama (common enemy). Inilah salah satu
konsistensi pikiran, semangat dan tindakan Bung Karno sejak muda.
Pada
pertengahan tahun 1926 Bung Karno sudah menyampaikan gagasannya di KoranIndonesia Muda, yang intinya
adalah bahwa gerakan perlawanan yang dilakukan oleh kaum Nasionalis, kaum Islam
maupun kaum Marxis bertujuan sama: melawan kapitalisme, imperialisme dan
kolonialisme. Bung Karno menegaskan kembali perlawanan itu dalamIndonesia Menggugat, sebuah
pembelaan (pleidooi) di
depan sidang pengadilan kolonial Hindia Belanda (landraad) di Bandung pada 18 Agustus 1930.
Ir.
Soekarno bersama dengan Gatot Mangkoepradja, Maskoen Soemadiredja dan
Soepriadinata ditangkap oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda pada 29
Desember 1929 karena aktivitas mereka dalam Partai Nasional Indonesia (PNI)
yang didirikan pada tahun 1927. Mereka diadili oleh landraad di Bandung yang berlangsung antara 18
Agustus hingga 22 Desember 1930. Ir. Soekarno dan kawan-kawan diadili oleh
hakim ketua Mr. Siegenbeek van Heukelom dan jaksa penuntutnya, R. Sumadisurja
adalah orang Indonesia – yang saat itu berstatus inlander.
Kapital dan Tenaga Manusia
Pleidooi Ir. Soekarno ini merupakan
gugatan terhadap kesewenang-wenangan serta penindasan (politik), penghisapan
(ekonomi) dan cengkeraman/hegemoni (budaya) kapitalisme dan imperialisme –
penjajah — yang mengakibatkan kemiskinan, kesengsaraan, penderitaan serta
kehinaan, pembodohan dan ‘ketakutan’ rakyat Indonesia secara sistematik. Lantas
apa itu kapitalisme dan imperialisme?
Kapitalisme
adalah sistem pergaulan hidup yang timbul dari cara produksi yang memisahkan
kaum buruh dari alat-alat produksi. Kapitalisme timbul dari cara produksi,
dimana nilai lebih – (merrwarde,
atau surplus value), yakni kelebihan hasil dari produksi
buruh – tidak jatuh ke tangan kaum buruh melainkan ke tangan kaum majikan.
Karena itu kapitalisme mengharuskan akumulasi kapital, konsentrasi kapital,
sentralisasi kapital. Sifat dasar kapitalisme adalah: eksploitatif, akumulatif
dan ekspansif. Maka cara produksi yang kapitalistik mengakibatkan
terjadinya industrieel Reserve-armee alias barisan penganggur dan verelendung alias pemelaratan kaum buruh.
Imperialisme
adalah ‘anak kandung’ kapitalisme – karena sifat dasarnya yang ekspansif itu.
Maka, imperialisme juga merupakan suatu sistem atau nafsu serakah, suatu
politik menaklukkan negeri dan bangsa lain; dan sekaligus mempengaruhi ekonomi
negeri dan bangsa lain. Imperialisme bisa diwujudkan melalui, cara-cara:
“penguasaan negeri-daerah dengan kekerasan senjata,” diplomasi – hanya
dengan “putar lidah” dan “penetration
pasifique” alias masuknya sebuah kebudayaan dengan jalan
damai.
Indonesia
sudah lebih dari 300 tahun menderitakan imperialisme itu, lebih dari 300 tahun
dipengaruhi, diduduki, dieksploitir oleh imperialisme – dulu imperialisme tua,
kini imperialisme modern. Namun imperialisme tua mau pun imperialisme modern
pada hakikatnya adalah sama: soal nafsu serakah memburu rejeki. Dan nafsu
ini juga membahayakan bagi negeri-negeri yang sudah merdeka.
Perusahaan-perusahaan
imperialisme itu kian menggurita. Imperialisme tua yang dulunya terutama hanya
sistem mengangkuti bekal-bekal hidup saja, kini sudah berkembang menjadi
raksasa imperialisme modern yang punya sifat-sifat: pertama, Indonesia tetap menjadi negeri
pengambilan bekal hidup; kedua, Indonesia menjadi negeri
pengambilan bekal-bekal (bahan mentah) untuk pabrik-pabrik di Eropa; ketiga,
Indonesia menjadi negeri pasar penjualan barang-barang hasil dari macam-macam
industri asing; dankeempat,
Indonesia menjadi lapang usaha (investasi) bagi modal. Pada bagian lain,Indonesia Menggugat juga menyebut sifat imperialisme yang kelima,
Indonesia merupakan sumber tenaga kerja (buruh) dengan upah murah.
Terutama
sifat yang keempat itulah, yakni “prinsip” yang membikin Indonesia menjadi
daerah eksploitasi kapital asing yang makin lama kian menggurita. Semua tanah
jajahan yang terutama ialah jadi lapangan usaha bagi ekspansi modal asing yang
kelebihan, suatu daerah pengusahaan surplus kapital di luar negeri. Ini
terutama sejak opendeur politiek, politik pintu
terbuka (1905), yakni masuknya modal asing lainnya: modal Inggris, Amerika,
Jepang dan lain-lain, di samping modal Belanda. Sehingga imperialisme di
Indonesia kini jadi imperialisme internasional.
Lantas
bagaimana nasib rakyat dan bangsa Indonesia? Kemiskinan, kesengsaraan dan
penderitaan rakyat yang dijajah digambarkan oleh Bung Karno dengan angka-angka
statistik. Sesungguhnya kemakmuran, kemewahan, kemajuan di negeri-negeri
penjajah merupakan hasil penindasan dan penghisapan terhadap negeri dan rakyat
Indonesia. Tentang rakyat yang dijajah Bung Karno menyatakan, “bangsa yang terdiri
dari kaum buruh belaka” dan “menjadi buruh antara bangsa-bangsa.”
Pergerakan Menuju Indonesia
Merdeka
Indonesia Menggugat menggambarkan situasi historis
yang nyata: sejak jaman kompeni (VOC), Cultuur Stelsel, opendeur
politiek alias
politik pintu terbuka (1905) dan seterusnya. Dan akibat penindasan, penghisapan
dan cengkeraman kapitalisme dan imperialisme, gerakan rakyat Indonesia niscaya
lahir, tumbuh dan kian membesar. Dan ini sudah dimulai sejak pertengahan abad
ke-19 dan awal abad ke-20. “Seluruh riwayat dunia adalah riwayat
golongan-golongan manusia atau bangsa-bangsa yang bergerak menghindarkan diri
dari sesuatu keadaan yang celaka; seluruh riwayat dunia, adalah riwayat
reactief
verzet vanverdrukte elementen alias perlawanan terhadap elemen yang
menindas!,” tegas Bung Karno mengutip perkataan Herbert Spencer (1820-1893),
seorang filsuf Inggris penganut empirisme.
Soal-soal
jajahan bukanlah soal hak, bukanlah soal hukum (recht), melainkan soal kekuasaan (macht). Karena itu proses peradilan
yang sedang berlangsung merupakan proses politik, mengadili pikiran dan
keyakinan politik. Dalam Indonesia Menggugat, Bung Karno
juga menegaskan azas gerakan PNI, yaitu: “Partai Nasional Indonesia
berkeyakinan, bahwa syarat yang amat penting untuk pembaikan kembali semua
susunan pergaulan hidup Indonesia itu, ialah kemerdekaan nasional. Oleh karena
itu, maka semua bangsa Indonesia haruslah ditujukan ke arah kemerdekaan
nasional itu.”
Selama
suatu negeri masih bersifat jajahan, ya, lebih jauh lagi: selama suatu negeri
masih bersifat “protektorat” atau pun “daerah mandat” – pendek kata selama
suatu negeri masih belum sama sekali leluasa mengadakan aturan-aturan rumah
tangga sendiri — maka sebagian atau semua aturan-aturan rumah tangganya,
mempunyai “cap” yang imperialistis adanya. Artinya: selama rakyat belum
mencapai kekuasaan politik atas negeri sendiri, maka sebagian atau semua
syarat-syarat hidupnya, baik ekonomi maupun sosial maupun politik,
diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan yang bukan kepentingannya, bahkan
bertentangan dengan kepentingannya. Karena itu tiap-tiap rakyat jajahan
berjuang untuk kemerdekaan negerinyta.
Ir.
Soekarno dan kawan-kawan akhirnya dijatuhi hukuman penjara selama empat tahun
dengan tuduhan melanggar pasal 169 dan 153 bis Wetboek van
Strafrecht. Pleidooi Bung Karno, Indonesia
Menggugat ini sangat
terkenal di seluruh dunia dan tak sekadar menginspirasi kaum pergerakan di
Indonesia, tetapi juga kaum pergerakan di negeri-negeri terjajah di Asia dan
Afrika untuk bangkit melawan penjajah –kapitalisme dan imperialisme.
Tri Sakti Kemerdekaan
Memperingati
67 tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, kita perlu berefleksi: apa
sesungguhnya makna kemerdekaan bagi rakyat dan bangsa ini? Apakah cita-cita
kemerdekaan sudah tercapai, atau setidaknya ‘didekati’ atau bahkan kian
‘dijauhi’?
Indonesia Menggugat merupakan bagian dari proses
sejarah kemerdekaan Republik Indonesia. Ia menggambarkan situasi dan kondisi
obyektif masyarakat – jaman kolonial — serta bagaimana jalan keluarnya. Dan ia
sekaligus merupakan “alat analisis” untuk memahami situasi dan kondisi
masyarakat saat ini, setelah 67 tahun merdeka.
Sejak
lama Bung Karno juga telah merumuskan Tri Sakti Kemerdekaan untuk menghadapi imperialisme, yaitu:
Berdaulat dalam bidang politik, Berdikari – berdiri di atas kaki sendiri -dalam
bidang ekonomi, dan Berkepribadian dalam bidang kebudayaan. Tri Sakti
Kemerdekaan ini
sesungguhnya merupakan visi alias cita-cita kemerdekaan Republik Indonesia.
Nah,
setelah 67 tahun merdeka ini, apakah rakyat dan bangsa Indonesia sudah terbebas
dari penindasan, penghisapan dan cengkeraman penjajah – kapitalisme dan
imperialisme? Secara politik ternyata pemerintah kita masih belum berdaulat
alias masih didikte oleh rezim neo liberal. Pun di bidang ekonomi, pemerintah
kita masih ‘tunduk-patuh’ kepada tuan-tuan rezim neo liberal yang kita kenal
sebagai The New Ruler of The World.
Pada
pihak lain, justru dalam beberapa tahun belakangan, gerakan rakyat pekerja –
seperti buruh, petani, nelayan, pedagang kecil dan lain-lain – banyak yang
menggugat rezim globalisasi neoliberal ini. Pada hakikatnya, kita, rakyat
Indonesia masih belum merdeka –sebagaimana yang dimaksud dalam Indonesia
Menggugat apalagi
‘mendekati’Tri Sakti Kemerdekaan.
Sesungguhnya kita masih mengalami penjajahan oleh sistem neo liberalisme.● Danu Rudiono
0 Comments