Aceh merupakan salah satu daerah di Nusantara yang masyarakatnya bersifat multietnis bercirikan Islam. Di daerah ini terdapat 8 sub etnis yaitu Aceh, Alas, Aneuk jame, Gayo, Kluet, Simeulu, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan sub etnis tersebut mempunyai sejarah asal usul dan budaya yang sangat berbeda antar satu sub etnis dengan sub etnis lainnya sehingga memperkaya keragaman budaya di Aceh.
Penduduk Aceh sering disebutkan merupakan keturunan berbagai kaum dan bangsa. Seperti halnya kata ACEH sering diidentikkan dengan kepanjangan dari Arab, China, Eropa, Hindia dimana memang secara fisik menunjukkan ciri-ciri orang Arab, India, Eropa dan Cina.
Aceh merupakan daerah istimewa di Indonesia yang terletak paling ujung utara Pulau Sumatra. Nama lengkap Aceh adalah Nanggroe Aceh Darussalam. Provinsi ini memiliki Luas wilayah 57.365,57 km2 (2,88% luas Indonesia) di posisi 2° – 6° Lintang Utara dan 95° – 98° Bujur Timur dengan puncak tertinggi pada 4.446 m diatas permukaan laut. Perbatasan sebelah Utara dengan Laut Andaman, sebelah Timur dengan Selat Melaka, sebelah Selatan dengan Provinsi Sumatra Utara, sebelah Barat dengan Samudera Hindia. Melingkupi: 119 Pulau, 35 gunung, 73 sungai, 21 kabupaten, 228 kecamatan, 111 kelurahan dan 5947 desa.
Aceh memiliki sumber daya alam yang penting yakni minyak dan gas. Diperkirakan cadangan gas di Aceh merupakan terbesar di dunia. Bagi kebanyakan orang Indonesia, Aceh dianggap sebagai wilayah konservatif agama Islam.
Sejarah
Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer, komitmennya dalam menentang imperialisme, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Orang-orang Aceh pertama diperkirakan masuk dari Semenanjung Malaysia, Cham, Cochim China dan Kamboja. Keturunan Eropa yang beragama Islam merupakan keturunan Portugis dapat dijumpai di Aceh Jaya. Suku Alas di Aceh Tenggara. Suku Tamiang di Aceh Tamiang. Suku Gayo di Aceh Tengah, sebagian di Aceh Timur, Bener Meriah dan Gayo Lues. Suku Aneuk Jamee di Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya serta Kluet di Aceh Selatan dan orang Simeulue di Pulau Simeulu.
Pada awal abad ke-17 Aceh adalah Kesultanan yang paling kaya, berkuasa dan merupakan wilayah yang subur di Selat Malaka. Aceh memiliki sejarah dalam hal kemerdekaan politik dan perlawanan terhadap pihak luar, termasuk oleh Belanda dan pemerintah Indonesia.
Berada di Barat Laut Sumatra, menjadikan Aceh mudah berhubungan dengan dunia luar sejak abad ke-6 M. Catatan historis Cina saat itu mengatakan ada sebuah kerajaan di ujung utara Pulau Sumatra bernama Po-Li. Pada awal abad ke-9, beberapa tulisan Arab dan inskripsi yang ditemukan di India menyebutkan tentang Aceh. Tahun 1292, Marco Polo dalam pelayarannya dari Cina ke Persia mengunjungi Sumatra, mengabarkan bahwa di bagian utara Sumatra terdapat enam gerbang perdagangan termasuk Perlak, Samudera dan Lambri. Amat ironis bahwa wilayah-wilayah ini sekarang kurang dikenal di Indonesia.
Islam dikenaldi Aceh antara abad ke-7 dan ke-8 M dan kerajaan Islam pertama yaitu Perlak didirikan tahun 804 M. Lalu diikuti oleh Samudera Pasai tahun 1042, Tamiah tahun 1184, Aceh tahun 1205 dan Darussalam tahun 1511. Tahun 1511 Portugis menangkap para pedagang dan saudagar Malaka, Asia dan Arab agar mereka tidak dapat memasuki Selat Malaka, hal tersebut menjadikan Aceh kaya dan sejahtera. Aceh mendominasi perdagangan dan politik di bagian utara Sumatra dan mulai mencapai puncak kejayaannya antara tahun 1610 dan 1640.
Aceh perlahan mulai runtuh setelah wafatnya Sultan Iskandar Thani tahun 1641. Inggris dan Belanda mulai bersaing untuk menguasai Aceh. Pada tahun 1824 Perjanjian London ditandatangani yang isinya menyatakan bahwa Inggris memberikan kuasa penuh atas pemerintahan Aceh kepada Belanda sebagai tanda terima kasih karena Belanda menyerahkan kedudukannya di India dan menghapus seluruh klaim di Singapura. Usaha Belanda untuk menaklukan Aceh cukup keras dan berat. Perang Aceh yang berselang dari tahun 1873 sampai 1904 adalah upaya penguasaan Belanda terpanjang yang pernah dilakukan dan menelan korban jiwa dari pihak Belanda lebih dari 10.000 orang. Perang yang panjang ini telah meninggalkan luka mental yang mendalam bagi masyarakat Aceh.
Ketika era industrialisasi tiba, Aceh mulai lebih terbuka pada hal-hal baru. Meskipun begitu, wisatawan yang datang harus mengetahui bahwa orang Aceh menjalankan kegiatan keagamaan, perilaku sosial dan moralnya dengan serius.
Transportasi
Banda Aceh hanya 45 menit dari Medan dengan menggunakan pesawat. Jika Anda pergi dari Jakarta perjalanannya hanya sekitar 2,5 jam dari bandara Soekarno Hatta.Bandara Internasional local dapat ditempuh sekitar 30 menit dengan mobil. Peselancar dari seluruh dunia sering datang ke Lhok Nga selama musim dingin di negaranya. Cuaca setelah pukul 10.00 pagi cukup panas tapi jarang diatas 30ºC.
Banda Aceh adalah bandar terbesar yang dimiliki selain Sabang, Lhokseumawe dan Langsa. Wilayah hutan terdiri dari Hutan Tetap (3.282.000 ha), Hutan Produksi (188.000 ha), serta Hutan Lindung (26.440,81). Flora dan Fauna yang menjadi identitas daerah diantaranya, Flora: Bungong Jeumpa (michelia champaca), Fauna: Cicimpala Kuning (Copsychus Pyrropygus).
Kota Banda Aceh didirikan 22 April 1205 oleh Sultan Alaidin Johansyah. Banda Aceh merupakan salah satu dari kota Islam tertua di Asia Tenggara. Telah dikenal sejak abad ke-17 sebagai kota metropolitan, kota perdagangan (ekonomi), pusat ilmu pengetahuan, pusat kegiatan politik, pusat pendidikan Islam, pusat kebudayaan Islam di Asia Tenggara. Kota di Banda Aceh dinamakan Kutaraja. Tanggal 26 Desember 2004, kota ini luluh lantah oleh tsunami yang menghancurkan sekitar 60% bangunan yang ada di kota ini. Banda Aceh disebut juga Tanah Rencong yang memiliki 9 Kabupaten, yaitu: Baiturahman, Kuta Alam, Meuraxa, Syiah Kuala, Lueng Bata, Ulee Kareng, Banda Raya, Jaya Baru, Kutaraja.
Masyarakat dan Budaya
Masyarakat Aceh terkenal sangat religius, memiliki budaya berlandaskan Islam. Semua orang, baik yang lahir di Aceh atau di luar Aceh, adalah beragama Islam. Dapat dipastikan bahwa tidak ada orang Aceh yang bukan muslim, meskipun tidak semua menjalankan syariat dengan secara ketat.
Islam yang datang ke Aceh telah berpadu dengan adat Aceh dan telah melahirkan identitas Aceh yang sangat khas sehingga kita mengenal istilah “Aceh Serambi Mekah”. Dari akulturasi ini terjadi proses harmonisasi yang menimbulkan kekuatan dan melekatnya identitas baru di Aceh.
Kehidupan budaya (adat) Aceh dengan Islam tidak dapat dipisahkan. Harmonisasi antara adat dan Islam ini berkembang dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Sistem pemerintahan di Aceh mencerminkan kedua unsur ini. Dwi tunggal keuchik dan teungku sebagai pemimpin masyarakat desa adalah cerminan harmonisasi tersebut. Persoalan-persoalan hukum Islam dalam masyarakat diselesaikan dengan sistem musyawarah dan tumbuh menjadi adat dalam penyelesaian konflik di desa. Keuchik dan Teungku adalah orang yang dituakan di sampang/desa. Mereka melayani masyarakat dalam segala macam persoalan sengketa antar warga, bahkan termasuk pidana sebelum diteruskan ke pengadilan, diselesaikan terlebih dahulu di desa (kampung). Demikian pula permasalahan sengketa rumah tangga. Penyelesaian sengketa biasanya dilakukan di meunasah atau balai desa, melalui musyawarah. Bila upaya damai di desa gagal, barulah diteruskan ke pengadilan. Masyarakat Aceh memiliki suatu budaya yang mengutamakan penyelesaian sengketa apa saja melalui perdamaian.
Masyarakat Aceh sangat menghormati penegakan keadilan, baik dalam lingkungan keluarga, maupun penegakkan keadilan dalam penyelesaian perkara di pengadilan. Pelaksanaan syariah Islam di Aceh merupakan keinginan rakyat Aceh yang dilakukan dengan langkah-langkah strategis yaitu: dilakukan secara bertahap; tidak dengan kekerasan; melalui peningkatan kesadaran dan kecerdasan; dalam konteks hukum nasional Indonesia; menghadirkan rahmat dan peningkatan peradaban; meningkatkan kesejahteraan lahiriyah dan batiniyah; tanggung jawab bersama pemerintah daerah dan masyarakat; hanya berlaku untuk pemeluk agama Islam sementara non-muslim dapat menundukkan diri.
Kuliner
Anda dapat berwisata kuliner di Aceh karena daerah ini memiliki aneka jenis makanan yang khas. Antara lain timphan, gulai itik, kari kambing yang lezat, gulai pliek u dan meuseukat yang langka. Di samping itu emping melinjo asal kabupaten Pidie yang terkenal gurih, dodol sabang yang dibuat dengan aneka rasa, ketan durian (boh drien ngon bu leukat), serta bolu manis asal Peukan Bada.
Sumber
- Wikipedia.org
- Wisatanesia.com
- Travelaceh.com
0 Comments