Dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Lampadang, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.
Masa Kecil
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Pengetahuan tentang rumah tangga seperti memasak, cara menghadapi atau melayani suami, serta hal lain tentang tata kehidupan berumahtangga didapatkan dari ibunya dan kerabat orangtua perempuan tersebut. Karena didikan tersebut, Cut Nyak Dhien mempunyai sifat-sifat yang tabah, lembut dan tawakal.
Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik. Ia memperoleh pendidikan pada bidang agama (yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama) dan rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari yang dididik baik oleh orang tuanya). Pengetahuan tentang rumah tangga seperti memasak, cara menghadapi atau melayani suami, serta hal lain tentang tata kehidupan berumahtangga didapatkan dari ibunya dan kerabat orangtua perempuan tersebut. Karena didikan tersebut, Cut Nyak Dhien mempunyai sifat-sifat yang tabah, lembut dan tawakal.
Pernikahan dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga
Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari Teuku Po Amat uleebalang Lamnga XIII mukim Tungkop, Sagi XXVI mukim Aceh besar. Teuku Ibrahim anak seorang uleebalang, tetapi juga disebabkan seorang pemuda yang taat agama, berpandangan luas, seorang alim yang memperoleh pendidikan dari Dayah Bitay. Mereka memiliki satu anak laki-laki.
Banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Pada usia 12 tahun, ia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari Teuku Po Amat uleebalang Lamnga XIII mukim Tungkop, Sagi XXVI mukim Aceh besar. Teuku Ibrahim anak seorang uleebalang, tetapi juga disebabkan seorang pemuda yang taat agama, berpandangan luas, seorang alim yang memperoleh pendidikan dari Dayah Bitay. Mereka memiliki satu anak laki-laki.
Pernikahan mereka dilangsungkan secara meriah, Teuku Nanta mendatangkan penyair terkenal Do Karim untuk membawakan syairnya dihadapan para undangan, syair-syair yang dibawakan mengandung ajaran-ajaran agama yang sangat berguna bagi pegangan hidup. Setelah Cut Nyak Dhien dan Teuku Ibrahim merasa sudah cukup siap mandiri membiayai rumah tangganya, mereka pindah rumah yang telah disediakan oleh Teuku Nanta.
Perlawanan saat Perang Aceh Belanda menyerang Aceh
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citdadel van Antwerpen. Perang Aceh meletus. Perang Aceh 1 (1873-1874), yang dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen dibawah pimpinan Kohler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Cut Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak:
Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citdadel van Antwerpen. Perang Aceh meletus. Perang Aceh 1 (1873-1874), yang dipimpin oleh Panglima Polem dan Sultan Machmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen dibawah pimpinan Kohler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Cut Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak:
Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?
Kesultanan Aceh dapat memenangkan perang ini. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Kohler tewas tertembak pada April 1873.
Pendudukan VI Mukim
Pada tahun 1874-1880, dibawah pimpinan Jenderal Van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Kematian Ibrahim Lamnga
Pada tahun 1874-1880, dibawah pimpinan Jenderal Van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.
Kematian Ibrahim Lamnga
Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.
Selama berkecamuknya peperangan, Teuku Chik Ibrahim meninggalkan Cut Nyak Dhien di Lampadang untuk berjuang. Oleh karena itu, Teuku Ibrahim jarang berada dirumah. Bersama Teuku Imum Leungbata maju keperbatasan VI mukim dan berusahan menaklukkan Meuraksa. Belanda semakin gencar untuk menundukkan daerah lainnya di luar Keraton dan Mesjid Raya.
Pasukan Belanda bergerak terus menuju wilayah IX mukim dan pasti akan menuju ke VI mukim, berbulan-bulan Teuku Chik Ibrahim tidak bertemu Cut Nyak Dhien. Kedatangannya ingin mengabarkan kepada Cut Nyak Dhien dan rakyat VI mukim harus meninggalkan Lampadang dan mengungsi ke tempat yang lebih aman dan menyiapkan bekal yang cukup untuk melakukan perjalanan yang panjang. Pada tanggal 29 desember 1875, rombongan Cut Nyak Dhien meninggalkan Lampadang.
Pasukan Teuku Nanta dan Teuku Ibrahim yang bermaksud mempertahankan VI mukim akhirnya harus menyingkir akibat serangan Belanda yang dipimpin oleh Van der Hayden. Akhirnya, daerah VI mukim berhasil dikuaisai kolonial. Pada tanggal 29 juni 1878, dalam suatu pertempuran di Lembah Beurandeun Gle Tarum, kemukiman Montasik, Sagi XXII Mukim, Teuku Ibrahim dan beberapa pengikutnya syahid
Pernikahan dengan Teuku Umar
Kekecewaan dan kesedihan sebagai akibat ditinggal suaminya dan darah kepahlawanan yang mengalir dari keluarganya menjadi dasar kuat bagi Cut Nyak Dhien, bahkan ia pernah berjanji akan bersedia kawin dengan laki-laki yang dapat membantunya untuk menuntut bela terhadap kematian suaminya. Adalah suatu hal yang tepat bila kemudian datang seorang laki-laki yang bersedia membantu Cut Nyak Dhien membalaskan dendam kepada Belanda, setelah bertahun-tahun menjanda, ia dipinang oleh Teuku Umar yang kebetulan adalah cucu dari kakek Cut Nyak Dhien sendiri.
Kekecewaan dan kesedihan sebagai akibat ditinggal suaminya dan darah kepahlawanan yang mengalir dari keluarganya menjadi dasar kuat bagi Cut Nyak Dhien, bahkan ia pernah berjanji akan bersedia kawin dengan laki-laki yang dapat membantunya untuk menuntut bela terhadap kematian suaminya. Adalah suatu hal yang tepat bila kemudian datang seorang laki-laki yang bersedia membantu Cut Nyak Dhien membalaskan dendam kepada Belanda, setelah bertahun-tahun menjanda, ia dipinang oleh Teuku Umar yang kebetulan adalah cucu dari kakek Cut Nyak Dhien sendiri.
Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, namun, karena Teuku Umar mempersilahkannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kapke Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang bernama Cut Gambang.
Bersatunya dua kesatria ini mengobarkan kembali semangat juang rakyat Aceh. Kekuatan yang telah terpecah kembali dipersatukan. Belanda di Kutaraja mendengar pernikahan antara Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Uleebalang yang memihak Belanda merasa kecut juga mendengar pernikahan mereka , adapun Tgk Chik di Tiro dan kawan-kawan seperjuangannya amat mendukung pernikahan mereka.
Bukti dari ampuhnya persatuan kedua pejuang Aceh ini adalah dapat direbut kembali wilayah VI mukim dari tangan Belanda. Cut Nyak Dhien dapat pulang lagi ke kampung halamannya, pada saat itu Teuku Nanta sudah sangat tua, oleh karena itu, Cut Rayut diangkat menjadi uleebalang pengganti Teuku Nanta. Namun sesungguhnya pengangkatan itu hanya sekedar kamuflase saja.
Dengan diangkatnya Cut Rayut menjadi uleebalang, Cut Nyak Dhien akan bebas menjalankan politik dalam perjuangan Aceh. Cut Nyak Dhien kembali membangun rumah tangganya di Lampisang. Rumah ini menjadi markas pertemuan para tokoh pejuang dan alim ulama yang mengorbankan semangat jihad fisabilillah.
Rencana Teuku Umar
Taktik Teuku Umar didalam peperangan menghadapi Belanda tergolong aneh bagi orang lain dan juga Cut Nyak Dhien sendiri. Ia pernah membantu Belanda atas permintaan Gubernur Aceh Loging Tobias, untuk membebaskan Kapal Inggris yang terdampar, kemudian disita oleh Teuku Imam Muda Raja Tenom. Namun pada saat itu terjadi penyerangan terhadap awak kapal yang dilakukan oleh pejuang Teuku Umar. Setelah peristiwa itu, Teuku Umar kembali ke Lampisang dan tidak mau lagi bekerja sama dengan Belanda. Tetapi rakyat Aceh tidak langsung percaya Teuku Umar, persoalan ini selesai setelah Kapal Nisiero baru diselesaikan setelah Belanda membayar tebusan sebesar 100.000 dolar kepada Raja Teunom
Taktik Teuku Umar didalam peperangan menghadapi Belanda tergolong aneh bagi orang lain dan juga Cut Nyak Dhien sendiri. Ia pernah membantu Belanda atas permintaan Gubernur Aceh Loging Tobias, untuk membebaskan Kapal Inggris yang terdampar, kemudian disita oleh Teuku Imam Muda Raja Tenom. Namun pada saat itu terjadi penyerangan terhadap awak kapal yang dilakukan oleh pejuang Teuku Umar. Setelah peristiwa itu, Teuku Umar kembali ke Lampisang dan tidak mau lagi bekerja sama dengan Belanda. Tetapi rakyat Aceh tidak langsung percaya Teuku Umar, persoalan ini selesai setelah Kapal Nisiero baru diselesaikan setelah Belanda membayar tebusan sebesar 100.000 dolar kepada Raja Teunom
Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi’sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 14 juni 1886 Teuku Umar kembali mengadakan serangan terhadap kapal Hok Canton, kapal ini berlabuh di pantai Rigaih. Waktu itu Hansen beserta istrinya dan juru mudi Faya ditawan, karena Hansen meniggal, maka istrinya dan Faya dibawa ke gunung. Belanda berusaha untuk mencari kontak dengan Teuku Umar, tetapi tidak ada hasilnya. Sekali lagi Gubernur Belanda memberikan tebusan 25.000 kepada Teuku Umar, uang itu dibagi-bagikan kepada rakyat Aceh. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan menyerahkan diri kepada Belanda untuk menipu orang Belanda, sehingga saat mereka keluar dari hutan mereka berkata:
Mereka menyadari mereka telah melakukan hal yang salah, sehingga mereka ingin membayar kembali kepada Belanda dengan menolong mereka menghancurkan perlawanan Aceh
Teuku Umar bersedia untuk mengamankan Aceh dan Belanda memberikan senjata yang lengkap kepada pasukannya untuk menjalankan misinya mengamankan Aceh. Teuku Umar diberikan tanggung jawab panglima dan diberikan gelar Teuku Umar Johan Pahlawan. Rumahnya di Lampisang dibangun oelh pemerintahan Belanda. Bentuknya disesuaikan denga bentuk rumah pejabat Belanda dan dihiasi taman serta diberikan fasilitas yang memadai. Teuku umar kemudian menjalankan tugas dari Belanda untuk merebut daerah-daerah yang masih dikuasai oleh pejuang Aceh
Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komander unit pasukan Belanda dan kekuasaan penuh. Ia menyimpan rencana ini sebagai rahasia, walaupun dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh, bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda, namun, ia masih terus berhubungan dengan Belanda. Teuku Umar mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai menjadi unit Belanda yang merupakan gerilyawan Aceh. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.
Namun ternyata perjuangan itu hanya bersifat sandiwara saja bersama Cut Nyak Dhien dan pada tanggal 29 maret 1896 ia kembali membawa pasukannya untuk kembali dengan masyarakat Aceh dan membawa persenjataan yang lengkap yang merupakan hasil curian dari Belanda. Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali.
Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (penghianatan Teuku Umar). Mengetahui pengkhianatan yang dilakukan Teuku Umar, Belanda mencabut jabatan sebagai panglima perang, gelar kebesaran Johan Pahlawan dan menyatakan perang terhadap Teuku Umar. Rumahnya di Lampisang dibakar dan dihancurkan oleh Belanda.
Reaksi Belanda
Reaksi Belanda
Teuku Umar yang menghianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan meluncurkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan terbaik dari Belanda dan mengembalikan identitasnya menjadi pasukan gerilyawan. Mereka mulai menyerang Belanda sementara jendral Van Swieten diganti. Penggantinya, jendral Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan untuk pertama kalinya. Selain itu, Belanda mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.
Pembantaian Jendral Van Der Heyden
Dien dan Umar menekan Belanda dan menduduki Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar) dan Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas. Pasukan gerilyawan kuat yang dilatih dan dibuat dan memimpil hal ini sukses. Sejarah yang mengerikan bagi orang Belanda terus terjadi, tetapi, jendral Van Der Heyden ditugaskan dan tidak pernah dilupakan oleh orang Aceh. Pembantaian yang berdarah dilakukan terhadap laki-laki, wanita dan anak-anak pada desa, ketika jendral Van Der Heyden masuk kedalam unit “De Marsose”.
Mereka dianggap biadab oleh orang Aceh dan sangat sulit ditaklukan, selain itu, kebanyakan pasukan “De Marsose” merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya, termasuk rumah dan orang-orang. Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van Der Heyden membubarkan unit “De Marsose”. Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan Jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan masih tetap ada pada penduduk Aceh.
Kematian Teuku Umar
Jendral Van Heutz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, dan akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Hal ini diketahui karena diinformasikan oleh informan yang bernama Teuku Leubeh. Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien mendengar kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan Dien berkata:
Sebagai wanita Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah “Shaheed”
Bertempur Bersama Pasukan Kecil
Dalam perjuangannya, Cut Nyak Dhien dibantu oleh para uleebalang, datuk-datuk, serta penyair-penyair yang senantiasa membakar semangat juang masyarakat Aceh. Ribuan tentara Belanda tewas dan jutaan uang dihabiskan demi mengejar Cut Nyak Dhien. Tokoh tokoh yang membantu perjuangan Cut Nyak Dhien diantaranya adalah Teuku Ali Baet menantunya yang memberikan uang dan senjata kepada rombongan. Ada pula Teuku Raja Nanta, adik Cut Nyak Dhien yang sempat berpisah dari rombongan karenan kejaran Belanda, dan akhirnya syahid di pedalaman Meulaboh.
Pada saat itu pula terjadi perlawanan oleh Sultan Muhamammad Daud Syah dan Panglima Polim yang berjuang di daerah Pidie. Dalam perjuangan grilyanya, pendukung setia Cut Nyak Dhien selalu menjaga siang malam dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menghindari penggerebekan yang dilakukan Belanda yang tidak lain adalah imbas dari pelaporan para pengkhianat yang memberitahukan dimana posisi rombongan Cut Nyak Dhien.
Akibat kematian suaminya, Cut Nyak Dien memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 dan berisi laki-laki dan wanita karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh, selain itu, Cut Nyak Dien semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya, termasuk salah satu pasukannya bernama Pang Laot Ali yang melaporkan lokasi markas Cut Nyak Dien pada Belanda karena iba, selain itu, agar Belanda mau memberinya perawatan medis dan membawa Belanda ke markas Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu.
Ditangkap Belanda
Ada 2 Kapten Belanda yang menjabat saat perjuangan Cut Nyak Dhien, yaitu Van Heutz dan Van Dalen. Selama Van Heutz memimpin penjajahan (1898-1904), rakyat Aceh menderita korban sebanyak 20.600 orang. Pada tanggal 8 februari 1904 Van Dalen melakukan perjalanan panjang selama 163 hari kepedalaman Aceh, ia disertai 10 brigade marsose. Tujuannya adalah untuk menumpas habis perlawanan Aceh yang masih aktif di tanah Gayo (Aceh tengah dan Aceh tenggara).
Karena pengejaran habis-habisan tersebut, ruang gerak rombongan Cut Nyak Dhien tedesak, baik dari segi material senjata, bahan makanan yang tersedia, mental berjuang yang semakin kendur, serta fisik yang mulai menurun dikarenakan berbagai faktor yang membuat Cut Nyak Dhien menjadi sakit-sakitan dan terkadang dipapah saat melakukan perpindahan dari satu gubuk ke gubug yang lain.
Kondisi ini membuat Pang Laot, salah seorang pengikut setia Cut Nyak Dhien mengusulkan kepada Cut Nyak Dhien untuk menghentikan perlawanan dan menjaga kesehatannya dalam perawatan Belanda, namun Cut Nyak Dhien meresponnya dengan kemarahan sambil mengeluarkan perkataan: “lebih baik aku mati di rimba daripada menyerah kepada kafir Kompeni”.
Namun, dengan berat hati, Pang Laot akhirnya menyerahkan diri kepada Belanda dan memberitahukan kepada Belanda di mana keberadaan Cut Nyak Dhien, dengan perundingan kepada Jendral Van Nuuren bahwa Cut Nyak Dhien akan dirawat sebagai seorang Pahlawan dan tidak akan dijauhkan dari masyarakat Aceh yang dicintainya. Perundingan ini disetujui oleh jendral Van Veltman Atas kesepakatan itu, pada tanggak 23 Oktober 1905, Van Veltman mengerahkan pasukannya sebanyak 6 brigade (120 bayonet) ke daerah Pameue. Terjadi perlawanan dari para pengikut Cut Nyak Dhien, namun jumlah serdadu yang sangat minim membuat pasukan Aceh yang dipimpin Panglima Habib Panjang kalah, dan sang Panglimai pun syahid ketika hendak menyelamatkan anak buahnya.
Cut Nyak Dhien dikejar sampai ke daerah Beutong, namun sekali lagi paukan Aceh berhasil melarikan diri dengan jumlah yang sangat sedikit untuk melindungi Cut Nyak Dhien. Pada tanggal 7 november 1905, seorang anak kecil kurir Cut Nyak Dhien berhasil ditangkap oleh pang Laot dan dimintai keterangannya tentang keberadaan Cut Nyak Dhien. Berita itu membuat jendral Van Veltmen langsung memerintahkan pasukannya untuk bergerak. Akhirnya pencarian pun berakhir, Cut Nyak Dhien ditemukan, namun Cut Gambang putri Cut Nyak Dhien berhasil melarikan diri dengan lukak di dadanya. Pada saat ditangkap, Cut Nyak Dhien tidak mampu menahan emosinya kepada Pang Laot, Cut Nyak Dhien melontarkan sumpah serapah baik kepada Pang Laot, maupun kepada Belanda yang pada saat itu memperlihatkan sikap hormat.
Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda sehingga Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian, dan Pang Karim, pasukannya berkata akan menjadi orang terakhir yang melindungi Dien sampai kematiannya. Akibat Cut Nyak Dhien memiliki penyakit rabun, ia tertangkap dan ia mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh, namun aksinya berhasil dihentikan oleh Belanda. Ia ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Ia dipindah ke Sumedang berdasarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12). Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan ia terus melanjutkan perlawanan yang sudah dilakukan ayah dan ibunya.
Masa Tua
Setelah ia ditangkap, ia dibawa ke Banda Aceh dan dirawat disitu. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Belanda takut bahwa kehadirannya akan membuat semangat perlawanan, selain itu karena terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk, akhirnya Belanda kesal, jadi ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.
Untuk beberapa saat, Cut Nyak Dhien diperlakukan sebagai seorang Pahlawan oleh Belanda, diberika fasilitas dan pelayanan yang baik. Namun rasa simpati dari rakyat tidak pernah hilang kepada Cut Nyak Dhie, membuat Cut Nyak Dhien sering dikunjungi oleh para masyarakat. Keadaan ini membuat Van Daalen selaku Gubernur Belanda merasa cemas dan mengusulkan untuk mengasingkan Cut Nyak Dhien ke Sumedang agar jauh dari rakyat Aceh.
Dibuang di Sumedang
Ia dibawa ke Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lain dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja, selain itu, tahanan laki-laki juga mendemonstrasikan perhatian pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan. Sampai kematiannya, masyarakat Sumedang tidak tahu siapa Cut Nyak Dhien yang mereka sebut “Ibu Perbu” (Ratu). Ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien yang tidak dapat bicara bahasanya merupakan sarjana Islam, sehingga ia disebut Ibu Perbu. Ia mengajar Al-Quran di Sumedang sampai kematiannya pada tanggal 8 November 1908. Saat Sumedang sudah beralih generasi dan gelar Ibu Perbu telah hilang pada tahun 1960-an, dari keterangan dari pemerintah Belanda, diketahui bahwa perempuan tersebut merupakan pahlawan dari Aceh yang diasingkan berdasarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12).
Kematian
Setelah ia dipindah ke Sumedang, pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam “Ibu Perbu” baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. Pada tahun 1960, orang lokal Sumedang yang mencari tahu kembali siapakah “Ibu Perbu”, telah meninggal, namun, informasi datang dari surat resmi pemerintah Belanda pada “Nederland Indische”, ditulis oleh Kolonial Verslag, bahwa “Ibu Perbu”, pemimpin pemberontakan provinsi Aceh telah dibuang di Sumedang, Jawa Barat. Hanya terdapat satu tahanan politik wanita Aceh yang dikirim ke Sumedang, sehingga disadari bahwa Ibu Perbu adalah Cut Nyak Dhien, “Ratu Jihad” dan diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.
Makam
Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda. Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara sarasehan, dan pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua kilometer. Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran, selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November
Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani Ibrahim Hasan, Gubernur Daerah Istimewa Aceh di Sumedang tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beson dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama besar dari Sumedang yang pernah dibuang ke Ambon yang bernama H. Sanusi, dan juga keluarga H. Sanusi merupakan pemilik tanah kompleks makam Cut Nyak Dhien.
Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surat At Taubah dan Al Fajar serta hikayat cerita Aceh.
Gerakan Aceh Merdeka melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia sehingga mengurangi jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien, selain itu, daerah makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat, bahkan tidak ada yang tahu letak makam Cut Nyak Dhien berada di Gunung Puyuh.
Kini, makam ini mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah Sumedang tidak memberikan dana.
Loen Copy Dari : http://acehimage.com
0 Comments