Pada tahun 1910, Belanda yang dipimpin langsung oleh Letnan Hoogers melakukan penyerbuan secara besar-besaran terhadap gua di Gunung Mancang yang disinyalir markas para pejuang Aceh. Pasukan Belanda ketika itu mengalami kesulitan melacak keberadaan gua ini. Hingga suatu saat, keberadaan gua tersebut diketahui. Usaha tentara Belanda untuk sampai di gua itu kandas di tengah jalan karena ketika sedang mendaki gunung, beratus-ratus batu digulingkan sehingga banyak tentara Belanda yang tewas. Akhirnya Belanda mendapat akal untuk mengalirkan 1200 kaleng minyak tanah ke arah gua lalu dibakar. Banyak jatuh korban karena penyerangan ini. Seorang wanita yang menjadi panglima dalam pertempuran itu ikut tertembak dibagian kakinya. Dan diapun tertangkap.

Wanita itu tak lain adalah Pocut Baren. Pocut Baren adalah seorang Uleebalang di Tungkob. Ia bukanlah wanita pertama yang memerintah di aceh; sebelumnya –berabad-abad yang lalu- telah ada ratu-ratu1 yang mengendalikan pemerintahan, tak kalah hebatnya dengan pria dan Pocut Baren merupakan pengganti pria.

Lahir pada tahun 1800, merupakan puteri dari Teuku Cut Amat; keluarganya sudah sekian lama turun temurun menjadi Uleebalang di Tungkob. Bila melihat sekarang banyaknya kendaraan yang memudahkan untuk datang kemana saja, tentu Tungkob bukanlah daerah yang jauh. Tapi bila melihat tungkop lima puluh tahun silam, Tungkob itu benar-benar jauh dipedalaman, di daerah Woila Hulu. Ia merupakan sebagian federasi Kawai XII yang kedalamnya termasuk juga Pameue, Geumpang, Tangse, Anoe dan Ara dan dari nama-nama itu orang segera dapat mengetahui bahwa tempat tersebut terletak di pusat pegunungan.

Bersuamikan seorang Keujruen yang kemudian menjadi Uleebalang Gume, Kabupaten Aceh Barat. Yang kemudian tewas dalam peperangan melewan Belanda. Peperangan yang dia ikut juga didalamnya. Namun kematian suaminya tidak menyurutkan semangatnya untuk terus melanjutkan berjuang.

Di gambarkan oleh H.C. Zentgraaff, Pocut Baren selalu diiringi oleh semacam pengawal, terdiri dari lebih kurang tiga puluh orang pria. Kemana-mana ia selalu memakai peudeueng tajam (pedang tajam), sejenis kelewang bengkok, mungkin sejenis pedang Turki yang sangat terkenal di pantai Barat.

Pocut Baren telah berjuang dalam waktu yang cukup lama. Sejak muda ia terjun ke kancah pertempuran. Pocut Baren juga ikut berjuang bersama-sama dengan Cut Nyak Dhien. Perjuangan dan perlawanan Pocut Baren yang gagah berani dilukiskan sendiri oleh penulis Belanda bernama Doup. Pocut Baren telah melakukan perlawanan terhadap Belanda sejak tahun 1903 hingga tahun 1910. Cut Nyak Dhien pernah tertangkap oleh pasukan Belanda pada tanggal 4 November 1905. Artinya, Pocut Baren pernah memimpin sendirian pasukannya melawan Belanda, meskipun Cut Nyak Dhien masih aktif berjuang secara sendirian. Dengan demikian, pada masa itu di wilayah Aceh terdapat dua wanita pejuang yang memimpin pasukannya melawan Belanda, yaitu Cut Nyak Dhien dan Pocut Baren.

Setelah penangkapannya oleh Belanda, dia dipindahlan ke kutaraja. Kakinya yang tertembak karena tidak menerima perawatan yang cukup lalu membusuk dan harus diamputasi. Setelah Pocut Baren dinyatakan sembuh dari sakitnya dan diyakini oleh Belanda tidak akan melakukan perlawanan lagi, maka ia dikembalikan ke kampung halamannya di Tungkop sebagai seorang uleebalang.

Namun demikian perlawanan Pocut tidaklah berhenti sampai disitu saja. Walau ia tidak dapat berperang langsung namun jiwa panglimanya terus berkobar. Dia terus menyemangati para anak buahnya. Melalui syair dan pantun dia menyemangati para pengikutnya agar tetap bersemangat melakukan perlawanan terhadap kaphe Belanda. Pantun-pantunya yang popular dan mengesankan itu masih belum dilupakan orang.

Untuk kelancaran perjuangannya, Pocutpun memikirkan agar tersedianya logistik yang cukup. Maka Pocut menggerakkan rakyatnya untuk menghidupkan kembali lahan-lahan yang telah lama terbengkalai. Lahan sawah kembali digarap. Lahan perkebunan ditanami buah-buahan, sayur-sayuran, kelapa, pala, kakau, cengkeh, nilam, mangga, pisang, jagung, dan tanaman lainnya. Dan mulai membangun saluran irigasi yang dialirkan dari sungai-sungai besar ke sawah-sawah penduduk. Hasil nya tidak main-main. Saat panen tiba daerah Tungkop mengalami surplus pertanian, sehingga sebagian hasilnya dapat dikirimkan ke daerah-daerah lain.

Itulah semangat Uleebalang Wanita Aceh ini. Kecacatannya tidak menjadikan dia berputus asa dan kehilangan semangat untuk terus berjuang hingga akhir hayatnya. Pocut Baren meninggal di tahun 19332. Dalam masyarakatnya nama wanita ini meninggalkan kenangan sebagai seorang wanita di pantai Barat yang paling cakap dan penuh vitalitas dari semua wanita yang ada di daerah itu.

Ket :

1. Ratu –ratu dimaksud adalah :
- Tajul Alam Safiatuddin (1641 – 1675 M)
- Nurul Alam Naqiatuddin (1675 – 1678 M)
- Inayatsyah (1678 – 1688 M)
- Kamalatsyah (1688 – 1699 M)

2. Menurut laporan politik Gubernur Aceh O.M Goedhart selama pertengahan pertama tahun 1928, Pocut Baren meninggal tanggal 12 maret 1928. Zentgraff keliru mencatat tahun 1933