Mukjizat Cinta, Part #3

Sepi apa ini yang kurasakan? Karena tanpa kekasih? Mungkin. Karena pastilahini berkaitan denganMasa lalu yang masih menumbuhkan luka dalam jiwaku. Luka dari dua puluh limatahun lalu. Ketika aku masih mahasiswa di tahun pertama di suatu UniversitasNegeri di Depok dan menjalin kasih dengan Pratiwi Zakhrotuni yang temansekampus. Gadis cantik keturunan Semarang dengan rambutnya yang sebahu,kulitnya mulus dan bibirnya sensual ini sejak awal memang menarikperhatianku. Sama-sama suka dan menjalani aktivitas di koran kampus,akhirnya dia dekat hingga aku berhasil merebut hatinya.Kedekatan kami tak cuma dalam kegiatan saja. Bahkan menimbulkan kejadianyang tak terhindarkan. Tiwi hamil setahun kami berpacaran.


Cinta kamimelenyapkan rasio yang biasanya bertengger di kepala, seperti ketikamembahas naskah-naskah koran kampus atau diminta teman-teman senat membuatposter dan spanduk. Ketika kuajak menikah, dia menolak karena tak beranibicara dengan orangtuanya, yang sangat mengidamkan puterinya menjadisarjana, selain perbedaan status sebagai orang kaya di daerahnya, dan masihketurunan ningrat dari keraton yogyakarta.Tapi aku tak mau menyerah begitu saja. Kuberanikan diri menghadaporangtuanya, untuk melamar anaknya. Langsung saja aku ditolak, bahkanditambahi dengan semprotan kata-kata kasar, yang kuterima dengan sabar.Bahkan ketika kakaknya yang berbadan besar seperti petinju hendak memukulku,aku diam saja melihatnya dicegah oleh ayah Tiwi.Sekembalinya ke Jakarta, saat aku sedang memikirkan jalan terbaik terhadapmasalah ini, Tiwi menghilang.

Dari beberapa teman dekatnya, tak satupun yangtahu kemana dia pergi. Aku juga tak yakin dia kembali ke orangtuanya.Sejak itu aku diliputi rasa bersalah dan kehilangan yang sangat.Kuselesaikan kuliah Akutansiku dengan lebih cepat dari yang kurencanakan.Lalu aku mengajar di suatu media cetak nasional sebagi wartawan, sambilterus menulis. Aku juga terus melacak keberadaan Tiwi, hingga ketikamenghadiri suatu simposium tentang Akutansi Keuangan Daerah, saat otonomidaerah di indonesia mulai tumbuh. yang berlokasi Di Semarang, kusempatkan kerumahnya.

Sia-sia juga, karena diberitahu oleh adiknya jika Tiwi tak ada dirumah, lalu pintu itu langsung ditutupnya dengan pandangan curiga.Di tengah keberhasilanku menggondol gelar sarjana, dan dengan waktu tak lamamenjadi pegawai tetap di Media tersebut, tekanan batinku tak juga lenyap.Tiwi selalu hadir dalam mimpi-mimpiku, di tengah rasa berdosaku. Kuhamburkanwaktuku dengan sibuk mencari berita dan menulis cerpen, yang hampir tiadahentinya. Bahkan, aku berhasil menelorkan dua novelku yang makin membuatnamaku dikenal di ranah sastra.Aku, Bayangan Tiwi, dan Gugusan Gemintang malam Tak ada kata apa-apa yangmampu untuk kuucapkan.

Hanya angin yang masih mau berhembus mengelus-elusaku bahkan merasakan suatu memori masa muda yang sangat indah ketika bertemudengan Tiwi Aku serasa ingin mendekapnya untuk sekian lama, untuk mengobatikehilangan setelah sepuluh tahun tak bertemu.Pernah memang kuisi sepi itu dengan mengencani penggemarku yang memangkebanyakan wanita, atau wanita muda yang makin berani menunjukkan minatnyaterhadap lelaki. Benar kata Mijan, mereka suka pria dengan kematangan yangtak ada pada diri teman sebayanya.

Namun, tetap saja Tiwi menjadi bayangan yang tak bisa hilang dari diriku.Upayaku tak henti untuk mencari kabar tentangnya. Tapi sepertinya dia lenyapditelan bumi. Tak satupun yang mampu tahu dimana dia kini. Rasa putus asatelah melanda diriku.Dunia yang menyesakkan. Kadang aku merasa ingin lari-keluar batas dari limitwaktu , mengembara-kemana saja. Ke seluruh penjuru dunia. Mengikuti anginyang berhembus. Mengikuti arus air di sungai. Mengikuti goyangan kelepaksayap burung-burung.Hanya Mijan yang tahu keadaanku, tapi juga tak berdaya.

Aku ingat, ketikadia menikah dan aku datang menyalaminya, dia memelukku dengan erat. Lalusambil bercanda kepada isterinya dia berkata,"Dik, coba carikan dong jodohbuat kawan kita ini." Saat itu aku hanya nyengir kuda saja, sambilberpamitan karena ditunggu teman-teman wartawan lainnya.Harus kuakui, meski bercanda tapi ucapan Mijan terasa menusuk hati inijugamembuatku ingin membagi sepi ini. Tapi lagi-lagi aku alami kegagalan. Sempataku dekat dengan Risna, Febi, Dwi dan Santi tapi mereka tak mampu menepiskehadiran Tiwi.

Kadang jika aku putus dengan salah satu wanita itu, Mijanbiasanya meledekku sebagai wartawan playboy yang tak Cuma jadi favoritwanita, malah ibu-ibu pun suka. ucap mijan.Kujalani semua ini seperti sungai yang mengalir mengikuti kelokannya. Ibukudi sudah berulang kali menanyakan kapan aku memperkenalkan calonmenantunya, tapi tetap kujawab dengan Gampanglah, nanti pasti ada".

Maklumsaja, sebagai anak pertama dengan tiga adik yang semuanya sudah berumahtangga, ibu cemas dengan keadaanku yang masih betah membujang. Apalagi akuanak kesayangannya, pengganti bapak yang sudah meninggal ketika menjalankantugas sebagai tentara waktu perang ke Aceh.Tentu saja tak pernah kuceritakan pada ibu, kenapa aku belum juga berumahtangga. Biarkan mereka menduga aku belum menemukan wanita yang cocok, meskibeberapa kali ketika aku pulang, ibu danlainnya pernah memperkenalkan akudengan puteri-puteri kenalan mereka, maksud ibu untuk menjodohkan aku.

Kini, saat kulihat kalender tadi dan ulang tahunku tiba tanpa ada suatuapapun yang bisa kubagi dengan orang lain, kurasakan suatu perasaan yangmenimbulkan lubang dalam jiwaku.Apakah jalan hidup yang kupilih selama dua puluh lima tahun ini betul? Kalauya, kenapa aku menutup hati setiap datang wanita lain. dan aku seringbergumam sendiri "Perhatikanlah dunia yang tertawa. Dengan senang hati,tanpa adanya dirimupun kehidupan terus berjalan, masih berlangsung. Dan,dunia masih terus berputar. Kadang-kadang kita merasa sedih, ada atau tidakada diri ku sama saja.

Seperti aku diacuhkan. Sepertinya aku tak berartilagi. Sebab, kehadiran tanpa bentuk jiwa ,sangatlah tidak mengenakkansuasana."


Post a Comment

0 Comments